Home » » Karen Armstrong: Sejarah "TUHAN"

Karen Armstrong: Sejarah "TUHAN"



Berbeda dengan penulis Barat umumnya, Karen menulis tentang Islam dalam nada yang empatik namun tanpa kehilangan nuansa kritis
Sekilas tentang Karen Armstrong dan Buku-Bukunya

Tak banyak orang yang menulis hingga tiga autobiografi sebelum usianya mencapai enam puluh. Orang yang demikian pasti langka dan istimewa. Karen Armstrong, penulis dan peneliti terkemuka masalah sejarah dan peran agama-agama dunia, adalah salah satu orang istimewa itu. Dalam kariernya sebagai penulis yang telah merentang sejak 1982 hingga sekarang, Karen telah menghasilkan 25 buku dan sejumlah artikel jurnal, tiga di antaranya autobiografinya sendiri. Menyimak perkembangan karya Karen Armstrong tentu menarik untuk mendapatkan gambaran mendalam tentang sosok dirinya. 
Karier kepenulisan Karen Armstrong dimulai dengan buku autobiografinya yang pertama, berjudul Through the Narrow Gate (1982). Sebuah awal yang sudah menandai betapa dia memiliki jalan hidup yang unik, sehingga layak untuk direkam bahkan ketika usianya masih muda. Karen Armstrong yang kini dikenal sebagai penulis dan komentator terkemuka masalah agama-agama dunia, menjalani masa remajanya sebagai biarawati Katolik Roma. Namun pada 1969, saat berusia dua puluh empat tahun, Karen Armstrong meninggalkan pendidikan biara  yang telah dijalaninya selama tujuh tahun semenjak menamatkan sekolah menengah atas.  
Dalam buku pertama ini, Karen menceritakan pengalamannya hidup selama di biara, tentang upayanya yang gagal untuk menemukan Tuhan di sana. Setahun kemudian, Karen menuliskan autobiografi keduanya,  Beginning the World (1983) yang mengisahkan perjalanan beratnya kembali  ke dunia awam, yang dirasanya aneh, tak dikenal, penuh pergolakan. 
Keluar dari biara, Karen melanjutkan belajar sastra Inggris di Oxford University, dan berhasil menyelesaikannya dengan predikat lulusan terbaik. Namun pada pendidikan tahap lanjut, dia urung menyelesaikan disertasinya mengenai penyair Tennyson. Karen memutuskan meninggalkan dunia akademis, meski sempat berkarier sebagai guru bahasa Inggris di sebuah sekolah khusus perempuan dari 1976 hingga 1982. Latar belakang pendidikan sastra ini meninggalkan pengaruh kuat pada karya-karyanya.  
Di banyak tempat dalam tulisannya, Karen kerap menyatakan pengalaman beragama itu mirip dengan pengalaman artistik, dan menggunakan kutipan-kutipan puisi untuk menunjukkan kedalaman kata-kata menjangkau alam ruhani. Dia menulis secara khusus untuk menunjukkan hal ini dalam Tongues of Fire: An Anthology of Religious and Poetic Experience yang terbit pada 1985. 
Pada periode 1980-an, kebanyakan karya Karen Armstrong berfokus pada tradisi Kristen yang melatarbelakanginya. Karen antara lain menyoroti tentang pandangan Injil mengenai perempuan dalam buku The Gospel According to Woman: Christianity’s Creation of the Sex War in the West (1986). 
Ketika meninggalkan biara, Karen merasa dirinya sudah putus hubungan dengan agama. Dia tak ingin ada hubungan apa-apa lagi dengan agama lantaran pengalaman yang disebutnya menyiksa fisik dan psikologis di biara. Namun perjalanan kariernya pada pertengahan 1980-an justru membawanya lebih dekat dengan apa yang ingin dijauhinya. Pada periode itu Karen berkarier di dunia penyiaran televisi, membuat beberapa film dokumenter mengenai kehidupan St Paul dan kota Yerusalem untuk Channel Four BBC. Kedua tema itu ditulisnya menjadi buku berjudul The First Christian (1983) danJerusalem: One City, Three Faiths (1996).  
Proyek-proyek dokumenter inilah membawanya berkunjung ke negeri-negeri tempat kelahiran agama-agama monoteistik di Timur Tengah. Dari perjalanan ini pula lahir buku yang menjadi salah satu adikaryanya yang paling terkenal  A History of God : The 4,000-Year Quest of Judaism, Christianity and Islam (1993). Dalam buku ini Karen melacak evolusi ketiga agama monoteistik dari titik awalnya di Timur Tengah hingga masa kini, serta membahas pula agama Hindu dan Buddha.  
Pengalaman bersentuhan dengan tradisi-tradisi agama lain dalam kariernya ini memunculkan ciri baru dalam karya-karya Karen pada periode 1990-an. Pada periode inilah Karen menulis biografi Nabi Muhammad,  Muhammad: A Biography of the Prophet  (1991) yang ditulisnya lantaran kecemasannya melihat besarnya kebencian terhadap Islam yang ditunjukkan di Barat, bahkan di kalangan orang yang sangat liberal. Karen ingin memperkenalkan Islam kepada masyarakat Barat, terutama Eropa, dan dia merasa tak ada cara yang lebih baik untuk memulainya selain dengan memperkenalkan kisah kehidupan nabi Muhammad. 
Terbitnya buku itu membuat Karen dipandang sebagai sahabat dan pembela Muslim di Barat. Dia mulai banyak diwawancarai dan diminta berbicara di televisi dan berbagai forum internasional mengenai hubungan Barat-Islam. Namun Karen tak pernah mengambil pendekatan politis dalam diskusi maupun karya-karyanya. Posisinya tetaplah sebagai peneliti dan pengamat yang berpendirian netral terhadap semua agama. Saat ditanya tentang keyakinan agamanya, Karen kerap menjawab dirinya adalah seorang “freelance monotheist”, meyakini keeesaan Tuhan tanpa terikat satu agama pun. 
Setelah peristiwa September 2001 Karen makin banyak diundang dan dimintai pendapat mengenai Islam dalam hubungannya dengan masyarakat modern dan Barat. Pada periode ini karya tulisnya makin menunjukkan ciri pendekatan sejarah yang kuat dengan kefasihan menghubungkan pertalian antara tradisi-tradisi agama.  
Pada periode 2000-an ini, Karen antara lain menulis The Great Transformation: The Beginning of Our Religious Traditions (2006). Buku ini melanjutkan tema yang dibahas dalam  A History of God dan mengkaji akar kemunculan agama-agama besar dunia  sejak dari zaman Aksial.  
Perhatiannya yang besar pada Islam membuat orang bertanya-tanya tentang apa yang telah mendorongnya bersikap demikian. Muncul ketertarikan publik pada riwayat hidupnya. Karena itulah, pada 2004, Karen kembali merefleksikan perjalanan bidupnya dalam autobiografi ketiga The Spiral Staircase (2004). Dalam buku ini Karen membukakan dirinya lebih jauh, menceritakan masa-masa sulitnya selepas menjadi biarawati, didiagnosis mengidap epilepsi, bergulat dengan terapi untuk membebaskannya dari “penjara pribadinya”, serta momentum baru dalam hidupnya setelah menerima kenyataan bahwa dirinya tak bisa lepas dari bahasan tentang agama.   
Agama, menurut Karen, bukanlah soal mempercayai sesuatu. Agama adalah soal akhlak, berperilaku dalam cara yang mengubah diri sendiri, mengantarkan diri semakin dekat dengan yang kudus dan sakral. Puluhan tahun kajian yang telah dilakukannya mengenai sejarah dan peran agama telah mengantarkannya pada keyakinan bahwa inti ajaran agama-agama dapat diringkas dalam Kaidah Emas: “memperlakukan orang lain sebagaimana diri kita ingin diperlakukan.” Tema inilah yang ditulisnya dalam salah satu buku terakhirnya yang berjudul Twelve Steps to a Compassionate Life (2010).
BUKU-BUKU KARYA KAREN ARMSTRONG:

•Through the Narrow Gate (1982)
•The First Christian: Saint Paul’s Impact on Christianity (1983)
•Beginning the World (1983)
•Tongues of Fire: An Anthology of Religious and Poetic Experience (1985)
•The Gospel According to Woman: Christianity’s Creation of the Sex War in the West (1986)
•Holy War: The Crusades and their Impact on Today’s World (1988)
•Muhammad: A Biography of the Prophet (1991)
•The English Mystics of the Fourteenth Century (1991)
•The End of Silence: Women and the Priesthood (1993)
•A History of God (1993), telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, diterbitkan oleh Mizan dengan judul Sejarah Tuhan (Edisi lama, 2001, Edisi Baru 2011)
•Jerusalem: One City, Three Faiths (1996)
•In the Beginning: A New Interpretation of Genesis (1996)
•Islam: A Short History (2000)
•The Battle for God: Fundamentalism in Judaism, Christianity and Islam (2000), telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, diterbitkan oleh Mizan dengan judul Berperang Demi Tuhan (Edisi Lama 2001, Edisi Baru 2013)
•Buddha (2001), telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, diterbitkan oleh Bentang (2005)
•Faith After September 11 (2002)
•The Spiral Staircase (2004) telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, diterbitkan oleh Mizan dengan judul Menerobos Kegelapan (Edisi Lama 2004, Edisi Baru 2013)
•A Short History of Myth (2005)
•Muhammad: A Prophet For Our Time (2006), telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, diterbitkan oleh Mizan dengan judul yang sama (Edisi Lama 2007, Edisi Baru 2013)
•The Great Transformation: The Beginning of Our Religious Traditions (2006), telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, diterbitkan oleh Mizan dengan judul yang sama (Edisi Lama 2007, Edisi Baru 2013)
•The Bible: A Biography (2007), telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, diterbitkan oleh Mizan dengan judul Sejarah Alkitab (2013)
•The Case for God (2009), telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, diterbitkan oleh Mizan dengan judul Masa Depan Tuhan (Edisi Lama 2011, Edisi Baru 2013)
•Twelve Steps to a Compassionate Life (2010), telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, diterbitkan oleh Mizan dengan judulCompassion (Edisi Lama 2012, Edisi Baru 2013)
•A Letter to Pakistan (2011)
--o0o--



SEJARAH TUHAN
KISAH PENCARIAN TUHAN YANG DILAKUKANOLEH
ORANG-ORANG YAHUDI, KRISTEN, DAN ISLAM
SELAMA 4.000 TAHUN

Pendahuluan

Sejak kecil saya telah memiliki kepercayaan keagamaan yang kuat, tetapi dengan sedikit keimanan kepada Tuhan. Ada perbedaan antara kepercayaan kepada seperangkat proposisi dengan keimanan yang memampukan kita menaruh ke-yakinan akan kebenaran proposisi-proposisi itu. Secara implisit, saya percaya Tuhan itu ada; saya juga beriman kepada kehadiran sejati Kristus dalam Ekaristi, kepada kebenaran sakramen, kepada kemungkinan keabadian neraka, dan kepada realitas objektif peleburan dosa. Akan tetapi, saya tidak bisa mengatakan bahwa kepercayaan saya terhadap semua ajaran agama tentang realitas sejati ini memberibukti kepada saya bahwa kehidupan di dunia ini sungguh-sungguh baik atau bermanfaat. Keyakinan masa kecil saya tentang ajaran Katolik Roma lebih merupakan sebuah kredo yang menakutkan. James Joyce menyuarakan hal ini dengan tepat dalam bukunya Portrait of the Artist as a Young Man; saya mendengarkan khotbah tentang api neraka. Kenyataannya, neraka merupakan realitas yang lebih menakutkan daripada Tuhan karena neraka adalah sesuatu yang secara imajinatif bisa betul-betul saya pahami. Di pihak lain, Tuhan merupa­kan figur kabur yang lebih didefinisikan melalui abstraksi intelektual daripada imajinasi. Ketika berumur delapan tahun, saya pernah diharuskan menghafal jawaban katekismus terhadap pertanyaan "Apakah Tuhan itu?": "Tuhan adalah Ruh Mahatinggi, Dia ada dengan sendirinya dan Dia sempuma tanpa batas." Tidak mengherankan jika konsep itu kurang bermakna buat saya. Bahkan, mesti saya akui, hingga saat ini konsep itu masih membuat saya bergidik. Konsep itu juga merupakan sebuah definisi yang amat kering, angkuh, dan arogan. Sejak menulis buku ini, saya pun menjadi yakin bahwa konsep semacam itu juga tidak benar. 

Ketika remaja, saya mulai menyadari bahwa ternyata ada sesuatu pada agama yang lebih daripada sekadar rasa takut. Saya telah membaca tentang kisah kehidupan para rahib, puisi-puisi metafisik, T. S. Eliot, dan beberapa tulisan mistik yang lebih sederhana. Saya mulai tergugah oleh keindahan liturgi dan, meskipun Tuhan masih tetap terasa jauh, saya dapat merasakan kemungkinan untuk mendekatkan jarak kepadanya dan bahwa penampakannya akan mengubah seluruh realitas ciptaan. Untuk mencapai ini, saya pun memasuki sebuah ordo keagamaan. Sebagai seorang rahib wanita yang masih baru lagi belia, saya belajar lebih banyak tentang iman. Saya mengkaji apologetika, kitab suci, teologi, dan sejarah gereja. Saya mempelajari sejarah kehidupan biara dan terlibat dalam pembicaraan panjang lebar tentang peraturan ordo saya yang konon mesti dipelajari melalui hati. Anehnya, Tuhan terasa tidak hadir di dalam semua ini. Perhatian justru dipusatkan kepada perincian sekunder dan aspek-aspek pinggiran dari agama. Saya bergulat dengan diri saya sendiri dalam doa, mencoba mendorong pikiran saya untuk menjumpai Tuhan. Namun, dia tetap terasa sebagai pengawas yang dengan ketat mencermati semua pelanggaran aturan yang saya lakukan atau benar-benar tidak hadir. Semakin banyak saya membaca tentang kekhusyukan para rahib dalam berdoa, semakin saya merasa gagal. Saya menjadi sadar betapa miskinnya pengalaman keagamaan saya, itu pun telah direkayasa oleh perasaan dan imajinasi saya sendiri. Terkadang, rasa pengabdian muncul sebagai respons estetik terhadap keindahan senandung Grego­rian dan liturgi. Akan tetapi, tak satu pun yang sungguh-sungguh terjadi pada diri saya yang berasal dari kekuatan di luar diri saya. Saya tidak pernah membayangkan Tuhan sebagaimana digambarkan oleh para nabi dan kaum mistik. Yesus Kristus, yang lebih sering dibicarakan orang Kristen ketimbang "Tuhan" itu sendiri, tampaknya cuma merupakan figur historis murni yang terjalin erat dengan masa lalu. Saya juga mulai punya keraguan besar terhadap doktrin gereja. Bagaimana mungkin mengetahui dengan pasti bahwa manusia Yesus merupakan inkarnasi Tuhan dan apa arti kepercayaan itu? Apakah Perjanjian Baru benar-benar mengajarkan doktrin Trinitas yang rumit—dan sangat kontradiktif—itu atau, sebagaimana banyak aspek ke-imanan lainnya, merupakan hasil buatan para teolog berabad-abad setelah wafatnya Yesus di Yerusalem?

Akhirnya, dengan penuh penyesalan, saya meninggalkan kehidupan di biara, dan, segera setelah terbebaskan dari beban kegagalan dan ketakmampuan yang mengendap dalam diri saya, saya pun merasakan betapa keimanan saya kepada Tuhan diam-diam menyurut. Dia tidak pernah mengunjungi hidup saya walaupun saya telah mengerahkan segenap usaha terbaik untuk memungkinkan hal itu dilakukannya. Kini, saya tidak lagi merasa berdosa dan mencemaskannya. Dia terlalu jauh dari kemungkinan untuk menjadi suatu realitas. Akan tetapi, perhatian saya kepada agama terus berlanjut. Saya merancang sejumlah acara televisi mengenai sejarah awal Kristen dan hakikat pengalaman keagamaan. Semakin saya mempelajari sejarah agama, semakin saya mendapat pembenaran akan keraguan yang telah ada dalam diri saya sebelumnya. Doktrin-doktrin Kristen yang pernah saya terima dengan tidak kritis ketika kecil ternyata memang buatan manusia, yang telah dikonstruksikan selama berabad-abad silam. Sains tampaknya telah mengesampingkan Tuhan Penciptadan para sarjana biblikal telah membuktikan bahwa Yesus tidak pernah mengklaim dirinya suci. Sebagai pengidap epilepsi, saya kadang melihat kilasan yang saya ketahui sebagai sekadar gangguan neurologis semata: apakah penampakan dan kekhusyukan yang dialami orang-orang suci itu juga sekadar gangguan mental? Tuhan semakin tampak sebagai sesuatu yang sudah diterima begitu saja oleh manusia. 

Selama menjadi biarawati, saya tidak percaya bahwa pengalaman saya tentang Tuhan adalah pengalaman yang istimewa. Gagasan saya tentang Tuhan telah terbentuk di masa kecil dan tidak berkembang lagi seperti pengetahuan saya dalam disiplin ilmu yang lain. Saya telah memperbaiki pandangan kekanak-kanakan saya yang simplistik tentang Tuhan Bapa; saya telah mendapatkan pemahaman yang lebih matang tentang kompleksitas keadaan manusia daripada yang mungkin saya miliki di masa kanak-kanak. Namun, ide-ide masakecil saya yang membingungkan tentang Tuhan belum berubah atau berkembang. Banyak orang yang tidak memiliki latar belakang ke­agamaan seperti saya mungkin juga mendapatkan bahwa pandangan mereka tentang Tuhan pun telah terbentuk di masa kecil. Sejak saat itu pula kita telah meninggalkan hal-hal kekanak-kanakan dan membuang gagasan tentang Tuhan masa kecil kita.

Namun, kajian saya tentang sejarah agama telah mengungkapkan bahwa manusia adalah makhluk spiritual. Ada alasan kuat untuk berpendapat bahwa Homo sapiens juga merupakan Homo religius. Manusia mulai menyembah dewa-dewa segera setelah mereka menyadari diri sebagai manusia; mereka menciptakan agama-agama pada saat yang sama ketika mereka menciptakan karya-karya seni. Ini bukan hanya karena mereka ingin menaklukkan kekuatan alam; keimanan awal ini mengekspresikan ketakjuban dan misteri yang senantiasa merupakan unsur penting pengalaman manusia tentang dunia yang menggentarkan, namun indah ini. Sebagaimana seni, agama merupakan usaha manusia untuk menemukan makna dan nilai kehidupan, di tengah derita yang menimpa wujud kasatnya. Seperti aktivitas manusia lainnya, agama dapat disalah gunakan, bahkan tampaknya justru itulah yang selalu kita lakukan. Ini bukanlah hal yang secara khusus melekat pada para penguasa atau pendeta sekular yang manipulatif, tetapi adalah sesuatu yang sangat alamiah bagi manusia. Sekularisme kita sekarang ini merupakan eksperimen yang sepenuhnya baru, yang belum pernah ada presedennya di dalam sejarah manusia. Kita masih perlu menyaksikan keberhasilannya. Namun, tak kalah benarnya jika dinyatakan bahwa humanisme liberal Barat bukanlah sesuatu yang secara alamiah datang kepada kita; sebagaimana apresiasi atas seni atau puisi, ia harus ditumbuhkan. Humanisme itu sendiri merupakan sebuah agama tanpa Tuhan—tidak semua agama, tentunya, bersifat teistik. Cita-cita etika sekular kita mempunyai disiplin pikiran dan hatinya sendiri dan menyediakan bagi manusia sarana untuk menemukan keyakinan pada makna tertinggi kehidupan manusia seperti yang pernah disediakan oleh agama-agama konvensional.

Ketika saya mulai meneliti sejarah ide dan pengalaman tentang Tuhan dalam tiga kepercayaan mono teistik yang saling berkaitan—Yahudi, Kristen, dan Islam—saya berharap menemukan bahwa Tuhan hanya merupakan proyeksi kebutuhan dan hasrat manusia. Saya kira "dia" akan mencerminkan rasa takut dan kerinduan masyarakat pada setiap tahapan perkembangannya. Prediksi-prediksi saya tidak seluruhnya tidak terbukti, tetapi saya benar-benar dikejutkan oleh beberapa penemuan saya. Seandainya saya telah mengetahui semua itu tiga puluh tahun lalu, ketika saya mulai menjalani kehidupan di biara, pengetahuan itu tentu akan menyelamatkan saya dari ketegangan ketika mendengar—dari para monoteis terkemuka ketiga agama itu—bahwa ketimbang menanti Tuhan untuk turun dari ke-tinggian, saya mesti secara sengaja menciptakan rasa tentang dia didalam diri saya. Para rahib, pendeta, dan sufi yang lain menyalahkan saya karena mengasumsikan bahwa Tuhan—dalam pengertian apapun—adalah realitas yang "ada di luar sana". Mereka dengan tegas memperingatkan saya untuk tidak berharap mengalami Tuhan sebagai fakta objektif yang bisa ditemukan melalui proses pemikiran rasional biasa. Mereka tentu akan mengatakan kepada saya bahwa dalam pengertian tertentu Tuhan merupakan produk imajinasi kreatif, seperti halnya seni dan musik yang bagi saya sangat inspiratif. Beberapa monoteis terkemuka bahkan dengan tenang dan tegas mengatakan kepada saya bahwa Tuhan tidak ada dengan sebenarnya—namun demikian "dia" adalah realitas terpenting di dunia.

Buku ini bukanlah tentang sejarah realitas Tuhan yang tak terucapkan itu, yang berada di luar waktu dan perubahan, tetapi merupakan sejarah persepsi umat manusia tentang Tuhan sejak era Ibrahim hingga hari ini. Gagasan manusia tentang Tuhan memiliki sejarah, karena gagasan itu selalu mempunyai arti yang sedikit berbeda bagi setiap kelompok manusia yang menggunakannya di berbagai periode waktu. Gagasan tentang Tuhan yang dibentuk oleh sekelompok manusia pada satu generasi bisa saja menjadi tidak bermakna bagi generasi lain. Bahkan, pernyataan "saya beriman kepadaTuhan" tidak mempunyai makna objektif, tetapi seperti pernyataan lain umumnya, baru akan bermakna jika berada dalam suatu konteks, misalnya, ketika dicetuskan oleh komunitas tertentu. Akibatnya, tidak ada satu gagasan pun yang tidak berubah dalam kandungan kata "Tuhan". Kata ini justru mencakup keseluruhan spektrum makna, sebagian di antaranya ada yang bertentangan atau bahkan saling meniadakan. Jika gagasan tentang Tuhan tidak memiliki keluwesan semacam ini, niscaya ia tidak akan mampu bertahan untuk menjadi salah satu gagasan besar umat. manusia. Ketika sebuah konsepsi tentang Tuhan tidak lagi mempunyai makna atau relevansi, ia akan diam-diam ditinggalkan dan digantikan oleh sebuah teologi baru. Seorang fundamentalis akan membantah ini, karena fundamentalisme antihistoris; mereka meyakini bahwa Ibrahim, Musa, dan nabi-nabi sesudahnya semua mengalami Tuhan dengan cara yang persis sama seperti pengalaman orang-orang pada masa sekarang. Namun, jika kita memperhatikan ketiga agama besar kita, menjadi jelaslah bahwa tidak ada pandangan yang objektif tentang "Tuhan": setiap generasi harus menciptakan citra Tuhan yang sesuai baginya. Hal yang sama juga terjadi pada ateisme. Pernyataan "saya tidak percaya kepadaTuhan" mengandung arti yang secara sepintas berbeda pada setiap periode sejarah. Orang-orang yang diberi julukan "ateis" selalu menolak konsepsi tertentu tentang ilah. Apakah "Tuhan" yang ditolak oleh ateis masa sekarang adalah Tuhannya para patriark, Tuhan para nabi, Tuhan para filosof, Tuhan kaum sufi, atau Tuhan kaum deis abad ke-18? Semua ketuhanan ini telah dimuliakan sebagai Tuhan Alkitab dan Al-Quran oleh umat Yahudi, Kristen, dan Islam pada berbagai periode perjalanan sejarah mereka. Kita akan menyaksikan bahwa mereka sangat berbeda satu sama lain. Ateisme sering merupakan keadaan transisi, makanya orang Yahudi, Kristen,dan Muslim disebut "ateis" oleh kaum pagan semasa mereka karena telah mengadopsi gagasan revolusioner tentang keilahian dan transendensi. Apakah ateisme modern merupakan penolakan serupa terhadap "Tuhan" yang tidak lagi memadai bagi persoalan di zamankita?

Terlepas dari sifat non duniawinya, agama sesungguhnya bersifat pragmatik. Kita akan menyaksikan bahwa sebuah ide tentang Tuhan tidak harus bersifat logis atau ilmiah, yang penting bisa diterima. Ketika ide itu sudah tidak efektif lagi, ia akan diganti—terkadang dengan ide lain yang berbeda secara radikal. Hal ini tidak dipusingkan oleh kebanyakan kaum monoteis sebelum era kita sekarang karena mereka tahu bahwa gagasan mereka tentang Tuhan tidaklah sakral, melainkan pasti akan mengalami perubahan. Gagasan-gagasan itu sepenuhnya buatan manusia—tak bisa tidak—dan jauh berbeda dari Realitas tak tergambarkan yang disimbolkannya. Ada pula yang mengembangkan cara-cara yang sangat berani untuk menekankan perbedaan esensial ini. Salah seorang mistikus abad pertengahan melangkah lebih jauh hingga mengatakan bahwa Realitas tertinggi itu—yang secara keliru dinamai "Tuhan"—bahkan tidak pernah disebutkan di dalam Alkitab. Sepanjang sejarah, manusia telah meng­alami dimensi ruhaniah yang tampaknya melampaui dunia material. Adalah salah satu karakteristik pikiran manusia yang mengagumkan untuk mampu menciptakan konsep-konsep yang menjangkau jauh seperti itu. Apa pun tafsiran kita atas hal itu, pengalaman manusia tentang yang transenden ini telah menjadi sebuah fakta kehidupan. 

Tidak semua orang memandangnya ilahiah; orang Buddha, sebagai mana nanti akan kita lihat, akan menolak bahwa visi dan wawasan yang diperoleh lewat pengalaman itu berasal dari suatu sumber supranatural. Mereka menganggapnya sebagai hal yang alamiah bagi kemanusiaan. Akan tetapi, semua agama besar akan sepakat bahwa adalah mustahil untuk menggambarkan transendensi ini dalam bahasa konseptual biasa. Kaum monoteis menyebut transendensi ini "Tuhan", namun mereka membatasinya dengan syarat-syarat penting. Yahudi, misalnya, dilarang mengucapkan nama Tuhan yang sakral sedangkan umat Islam tidak diperkenankan melukiskan Tuhan secara visual. Disiplin semacam merupakan pengingat bahwa apa yang kita sebut "Tuhan" berada di luar ekspresi manusia.

Ini bukan sejarah dalam pengertian biasa, sebab gagasan tentang Tuhan tidak tumbuh dari satu titik kemudian berkembang secara linear menuju suatu konsepsi final. Teori-teori ilmiah mempunyai sistem kerja seperti itu, tetapi ide-ide dalam seni dan agama tidak. Sebagaimana dalam puisi cinta, orang berulang-ulang menggunakan ungkapan yang sama tentang Tuhan. Bahkan kita dapat menemukan kemiripan telak dalam gagasan tentang Tuhan di kalangan orangYahudi, Kristen, dan Islam. Meskipun orang Yahudi maupun Islam memandang doktrin Trinitas dan Inkarnasi sebagai suatu kekeliruan, mereka juga mempunyai teologi-teologi kontroversial versi mereka sendiri. Setiap ekspresi yang amat bervariasi tentang tema-tema uni­versal ini memperlihatkan kecerdasan dan kreativitas imajinasi manusia ketika mencoba mengekspresikan pemahamannya tentang "Tuhan".

Karena ini merupakan sebuah subjek yang luas, saya sengaja membatasi diri hanya mengkaji tentang Tuhan Yang Esa yang di sembah oleh umat Yahudi, Kristen, dan Islam meski terkadang saya juga menyinggung konsepsi kaum pagan, Hindu, dan Buddha tentang realitas tertinggi untuk memperjelas suatu pandangan monoteistik. Tampaknya, ide tentang Tuhan dalam ajaran agama-agama yang berkembang secara sendiri-sendiri tetap memiliki banyak keserupaan. Apa pun kesimpulan yang kita capai tentang realitas Tuhan, sejarah gagasan ini dapat mengatakan kepada kita sesuatu yang penting mengenai pikiran manusia dan inti aspirasi kita. Di tengah kecenderungan sekular di kalangan masyarakat Barat, ide tentang Tuhan masih mempengaruhi kehidupan jutaan orang; tetapi pertanyaannya adalah, "Tuhan" menurut konsep mana yang mereka anut? Teologi sering memberikan penjelasan yang membosankan dan abstrak. Akan tetapi, sejarah Tuhan penuh gairah dan ketegangan. Tidak seperti beberapa konsep lain tentang realitas tertinggi, sejarah ini pada awalnya dipenuhi pertarungan dan tekanan yang mengakibatkan penderitaan. Nabi-nabi Israel mengalami Tuhan mereka sebagai penderitaan fisik yang menimpa segenap anggota tubuh mereka dan memenuhinya dengan suka maupun duka. Realitas yang disebut Tuhan acap dialami para monoteis dalam keadaan ekstrem: kita akan membaca tentang puncak gunung, kegelapan, keterasingan, penyaliban, dan teror. Pengalaman Barat tentang Tuhan tampak agak traumatik. Apa alasan bagi ketegangan inheren ini? Kaum monoteis lainnya berbicara tentang cahaya dan transfigurasi. Mereka menggunakan gambaran yang amat berani untuk mengungkapkan kerumitan realitas yang mereka alami, yang jauh melampaui teologi ortodoks.

Belakangan ini perhatian terhadap mitologi bangkit kembali, yang mungkin menunjukkan luasnya hasrat akan ekspresi yang lebih imajinatif tentang kebenaran agama. Karya mendiang sarjana Amerika Joseph Campbell telah menjadi begitu populer; dia melakukan pengkajian mendalam tentang mitologi perenial manusia, menghubungkan mitos-mitos kuno dengan mitos-mitos yang hingga kini masih hidupdi kalangan masyarakat tradisional. Sering diasumsikan bahwa Tuhan ketiga agama besar itu sama sekali tidak memiliki simbolisme mitologi dan syair. Namun demikian, sekalipun kaum monoteis pada dasarnya menolak mitos-mitos tetangga pagan mereka, mitos-mitos itu ternyata sering kembali masuk ke dalam keimanan pada masa berikutnya. Kaum mitos melihat bahwa Tuhan berinkarnasi ke dalam tubuh seorang wanita, misalnya. Sementara yang lain secara khidmat memperbincangkan seksualitas Tuhan dan memasukkan unsur feminin kepada Tuhan.

Ini membawa saya ke titik yang sulit. Karena Tuhan ini telah terlanjur secara khusus dikenal sebagai berjenis "laki-laki", dan dalam bahasa Inggris kaum monoteis lazim merujuk kepada-Nya dengan kata ganti "he". Pada masa sekarang, kaum feminis dengan sangat sadar menaruh keberatan terhadap hal ini. Penggunaan kata ganti maskulin untuk Tuhan ini menimbulkan persoalan dalam sebagian bahasa bergender. Akan tetapi, dalam bahasa Yahudi, Arab, dan Prancis, gender gramatikal memberikan nada dan dialektika seksual terhadap diskursus teologis, yang justru dapat memberikan keseimbangan yang sering tidak terdapat di dalam bahasa Inggris. Misalnya, kata Arab Allah (nama tertinggi bagi Tuhan) adalah maskulin secara gramatikal, tetapi kata untuk esensi Tuhan yang ilahiah dan tak terjangkau—Al-Dzat—adalah feminin. Semua perbincangan tentang Tuhan adalah perbincangan yang sulit. Namun, kaum monoteis bersikap amat positif tentang bahasa sembari tetap menyangkal kapasitasnya untuk mengekspresikan realitas transenden. Tuhan orang Yahudi, Kristen, dan Islam adalah Tuhan yang—dalam beberapa pengertian—berkata-kata (berfirman). Firmannya sangat krusial di dalam ketiga agama besar itu. Firman Tuhan telah membentuk sejarah kebudayaan kita. Kita harus memutuskan apakah kata "Tuhan" masih tetap memiliki makna bagi kita pada masa sekarang. 


1
Pada Mulanya ...

Pada mulanya, manusia menciptakan satu Tuhan yang merupakan Penyebab Pertama bagi segala sesuatu dan Penguasa langit dan bumi. Dia tidak terwakili oleh gambaran apa pun dan tidak memiliki kuil atau pendeta yang mengabdi kepadanya. Dia terlalu luhur untuk ibadah manusia yang tak memadai. Perlahan-lahan dia memudar dari kesadaran umatnya. Dia telah menjadi begitu jauh sehingga mereka memutuskan bahwa mereka tidak lagi menginginkannya. Pada akhirnya dia dikatakan telah menghilang. Begitulah, setidaknya, menurut satu teori, yang dipopulerkanoleh Wilhelm Schmidt dalam The Origin of the Idea of God, yang pertama kali terbit pada 1912. Schmidt menyatakan bahwa telah ada suatu monoteisme primitif sebelum manusia mulai menyembah banyak dewa. Pada awalnya mereka mengakui hanya ada satu Tuhan Tertinggi, yang telah menciptakan dunia dan menata urusan manusia dari kejauhan. Kepercayaan terhadap satu Tuhan Tertinggi (kadang-kadang disebut Tuhan Langit, karena dia diasosiasikan dengan ketinggian) masih terlihat dalam agama suku-suku pribumi Afrika. Mereka mengungkapkan kerinduan kepada Tuhan melalui doa; percaya bahwa dia mengawasi mereka dan akan menghukum setiap dosa. Namun demikian, dia anehnya tidak hadir dalam kehidupan keseharian mereka; tidak ada kultus khusus untuknya dan dia tidak pernah tampil dalam penggambaran. Warga suku itu mengatakan bahwa dia tidak bisa diekspresikan dan tidak dapat dicemari oleh dunia manusia. Sebagian orang bahkan mengatakan dia telah "pergi". Para antropolog berasumsi bahwa Tuhan ini telah menjadi begitu jauh dan mulia sehingga dia sebenarnya telah digantikan oleh ruh yang lebih rendah dan tuhan-tuhan yang lebih mudah dijangkau. Begitu pula, menurut teori Schmidt selanjutnya, di zaman kuno, Tuhan Tertinggi digantikan oleh tuhan-tuhan kuil pagan yang lebih menarik. Pada mulanya, dengan demikian, hanya ada satu Tuhan. Jika demikian, monoteisme merupakan salah satu ide tertua yang dikembangkan manusia untuk menjelaskan misteri dan tragedi kehidupan. Ini juga menunjukkan beberapa masalah yang mungkin akan dihadapi oleh ketuhanan semacam itu.

Adalah mustahil untuk membuktikan hal ini dengan cara apapun. Telah banyak teori tentang asal usul agama. Namun, tampaknya menciptakan tuhan-tuhan telah sejak lama dilakukan oleh umat manusia. Ketika satu ide keagamaan tidak lagi efektif, maka ia segera akan diganti. Ide-ide ini diam-diam sirna, seperti ide tentang TuhanLangit, tanpa menimbulkan banyak kegaduhan. Dalam era kita sekarang ini, banyak orang akan mengatakan bahwa Tuhan yang telah disembah berabad-abad oleh umat Yahudi, Kristen, dan Islam telah menjadi sejauh Tuhan Langit. Sebagian lainnya bahkan dengan terang-terangan mengklaim bahwa Tuhan telah mati. Yang jelas dia tampak telah sirna dari kehidupan semakin banyak orang, terutama di Eropa Barat. Mereka berbicara tentang suatu "lubang yang pernah diisi oleh Tuhan" dalam kesadaran mereka karena, meski tampak tak relevan bagi sekelompok orang, dia telah memainkan peran krusial dalam sejarah kita dan merupakan salah satu gagasan terbesar umat manusia sepanjang masa. Untuk memahami apa yang telah hilang dari kita itu—jika memang dia telah hilang—kita perlu melihat apa yang dilakukan manusia ketika mereka mulai menyembah Tuhan ini, apa maknanya, dan bagaimana dia dipahami. Untuk melakukan itu, kita perlu menelusuri kembali dunia kuno Timur Tengah, tempat gagasan tentang Tuhan kita secara perlahan tumbuh sekitar14.000 tahun silam.

Salah satu alasan mengapa agama tampak tidak relevan pada masa sekarang adalah karena banyak di antara kita tidak lagi memiliki rasa bahwa kita dikelilingi oleh yang gaib. Kultur ilmiah kita telah mendidik kita untuk memusatkan perhatian hanya kepada dunia fisik dan material yang hadir di hadapan kita. Metode menyelidiki dunia seperti ini memang telah membawa banyak hasil. Akan tetapi, salah satu akibatnya adalah kita, sebagaimana yang telah terjadi, kehilangan kepekaan tentang yang "spiritual" atau "suci" seperti yang melingkupi kehidupan masyarakat yang lebih tradisional pada setiap tingkatannya dan yang dahulunya merupakan bagian esensial pengalaman manusia tentang dunia. Di Kepulauan Laut Selatan, mereka menyebut kekuatan misterius ini sebagai mana; yang lain mengalaminya sebagai sebuah kehadiran atau ruh; kadang-kadang ia dirasakan sebagai sebuah kekuatan impersonal, seperti layaknya sebentuk radioaktivitas atau tenaga listrik. Kekuatan ini diyakini bersemayam dalam diri kepala suku, pepohonan, bebatuan, atau hewan-hewan. Orang Latin mengalami numina (ruh-ruh) dalam semak yang dianggap suci; orang Arab merasakan bahwa daratan dipenuhi oleh jin-jin. Secara alamiah, manusia ingin bersentuhan dengan realitas ini dan memanfaatkannya, tetapi mereka juga ingin sekadar mengaguminya. Ketika orang mulai mempersonalisasi kekuatan gaib dan menjadikannya sebagai tuhan-tuhan, mengasosiasikannya dengan angin, matahari, laut, dan bintang-bintang tetapi memiliki karakteristik manusia, mereka sebenarnya sedang mengekspresikan rasa kedekatan dengan yang gaib itu dan dengan dunia di sekeliling mereka.

Rudolf Otto, ahli sejarah agama berkebangsaan Jerman yangmenulis buku penting The Idea of the Holy pada 1917, percaya bahwa rasa tentang gaib ini (numinous) adalah dasar dari agama. Perasaan itu mendahului setiap hasrat untuk menjelaskan asal usul dunia atau menemukan landasan bagi perilaku beretika. Kekuatan gaib dirasakan oleh manusia dalam cara yang berbeda-beda—terkadang ia menginspirasikan kegirangan liar dan memabukkan; terkadang ketenteraman mendalam, terkadang orang merasa kecut, kagum, dan hina di hadapan kehadiran kekuatan misterius yang melekat dalam setiap aspek kehidupan. Ketika manusia mulai membentuk mitos dan menyembah dewa-dewa, mereka tidak sedang mencari penafsiran harfiah atas fenomena alam. Kisah-kisah simbolik, lukisan dan ukiran di gua adalah usaha untuk mengungkapkan kekaguman mereka dan untuk menghubungkan misteri yang luas ini dengan kehidupan mereka sendiri; bahkan sebenarnya para sastrawan, seniman, dan pemusik pada masa sekarang juga sering dipengaruhi oleh perasaan yang sama. Pada periode Paleolitik, misalnya, ketika pertanian mulai berkembang, kultus Dewi Ibu mengungkapkan perasaan bahwa kesuburan yang mentransformasi kehidupan manusia sebenarnya
adalah sakral. Para seniman memahat patung-patung yang melukiskannya sebagai seorang perempuan hamil telanjang yang banyak ditemukan oleh para arkeolog tersebar di seluruh Eropa, TimurTengah, dan India. Dewi Ibu itu tetap penting secara imajinatif selama berabad-abad. Seperti Tuhan Langit yang lama, dia kemudian masuk ke dalam kuil-kuil yang lama dan menempati posisi sejajar dengan dewa-dewa lain yang lebih tua. Dia dahulunya merupakan salah satu dewa terkuat, jelas lebih kuat daripada Dewa Langit, yang terus menjadi sosok yang remang-remang. Dia disebut Inana di Sumeria kuno, Isytar di Babilonia, Anat di Kanaan, Isis di Mesir, dan Aphrodite di Yunani. Kisah yang benar-benar mirip terdapat di semua kebudayaan ini untuk mengekspresikan peranannya di dalam kehidupan spiritual manusia. Mitos-mitos ini tidak dimaksudkan untuk dipahami secara harfiah, tetapi merupakan upaya metaforis untuk menggambarkan sebuah realitas yang terlalu rumit dan pelik untuk bisa diekspresikan dengan cara lain. Kisah-kisah dramatis dan membangkitkan emosi tentang dewa-dewi ini membantu manusia untuk menyuarakan perasaan mereka tentang kekuatan dahsyat, namun tak terlihat yang mengelilingi mereka.

Di dunia kuno memang tampaknya manusia percaya bahwa hanya melalui keterlibatan dalam kehidupan yang suci ini mereka bisa menjadi manusia yang sesungguhnya. Kehidupan duniawi amat rentan dan dihantui bayang-bayang kematian, tetapi jika manusia meneladani tindakan dewa-dewa maka mereka akan memiliki dalam kadar tertentu kekuatan dan keefektifan dewa-dewa itu. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa dewa-dewa itu telah memperlihatkan kepada manusia bagaimana cara membangun kota-kota dan kuil-kuil mereka, yang merupakan salinan dari tempat mereka bersemayam di langit. Dunia suci para dewa—seperti yang sering diceritakan di dalam mitos—bukanlah sekadar sebuah ideal yang ke arah itu manusia harus menuju, tetapi merupakan prototipe eksistensi manusia; itulah pola atau arketipe orisinal yang menjadi model kehidupan kita disini. Dengan demikian, segala sesuatu yang ada di bumi dipandang sebagai replika dari semua yang ada di dunia ilahiah. Inilah persepsi yang membentuk mitologi, organisasi ritual dan sosial kebanyakan kebudayan kuno dan terus mempengaruhi lebih banyak masyarakat tradisional pada era kita sekarang ini.1 Di Iran kuno, misalnya, setiap orang atau objek di dunia jasad (getik) diyakini mempunyai padanannya di dunia arketipal realitas suci (menok). Ini adalah perspektif yang sulit untuk kita apresiasi di dunia modern, karena kita memandang autonomi dan kebebasan sebagai nilai kemanusiaan yang tinggi. Namun demikian, ungkapan terkenal post coitum omne animal tristist est tetap mengungkapkan pengalaman yang sama: setelah suatu momen yang menegangkan dan dinanti-nanti dengan penuh harap, kita sering merasa kehilangan sesuatu yang lebih besar, namun senantiasa luput dari jangkauan- kita. Meniru tuhan masih menjadi ajaran agama yang penting: beristirahat pada hari Sabbath atau mencuci kaki pada hari Kamis Maundy—perbuatan-perbuatan yang tidak bermakna dalam dirinya sendiri—kini menjadi signifikan dan sakral karena orang-orang percaya bahwa perbuatan semacam itu pernah dikerjakan oleh Tuhan.

Spiritualitas yang serupa telah menjadi ciri dunia Mesopotamia kuno. Lembah Tigris-Eufrat, yang berada di wilayah pemerintahan Irak kini, telah dihuni sejak 4000 SM oleh kelompok manusia yang dikenal sebagai orang Sumeria. Mereka telah membangun salah satu kebudayaan oikumene (dunia berperadaban) terbesar pertama. Dikota-kota Ur, Erech, dan Kish, orang Sumeria mencipta aksara cunei­form mereka, membangun menara-kuil hebat yang disebut ziggurat, dan mengembangkan hukum, sastra, dan mitologi yang mengesan-kan. Tak lama berselang, kawasan itu diinvasi oleh orang Akkadian Semitik, yang kemudian mengadopsi bahasa dan peradaban Sumeria. Lalu, masih sekitar 2000 SM, orang Amorit menaklukkan peradaban Sumeria-Akkadian dan menjadikan Babilonia ibu kota mereka. Akhirnya, sekitar 500 tahun kemudian, orang Asyur bermukim di Asyur yang tak jauh dari situ lalu menguasai Babilonia pada abad kedelapan SM. Tradisi Babilonia ini juga mempengaruhi mitologi dan agama Kanaan, yang akan menjadi Tanah yang Dijanjikan bagi orang Israel kuno. Sebagaimana masyarakat di dunia kuno lainnya, orang Babilonia menisbahkan prestasi kebudayaan mereka kepada dewa-dewa yang telah mewahyukan gaya hidup mereka sendiri kepada nenek moyang mitikal masyarakat Babilonia. Dengan demikian, Babilonia dianggap sebagai gambaran surga, setiap candi-nya adalah replika kerajaan langit. Keterkaitan dengan alam suci ini dirayakan setiap tahun dalam Festival Tahun Baru yang meriah, yang telah secara kukuh dikembangkan pada abad ketujuh SM. Dirayakan di kota suci Babilonia selama bulan Nisan—atau April—Festival itu secara khidmat memahkotai raja dan menasbhskan kekuasaannya untuk tahun berikutnya. Namun, stabilitas politik ini hanya bisa bertahan selama ia berpartisipasi di dalam pemerintahan dewa-dewa yang lebih abadi dan efektif, yang telah mengenyahkan kekacauan primordial ketika dunia pertama kali diciptakan. Dengan demikian, Festival sebelas hari suci itu mengantarkan para partisipan dari zaman yang profan ke alam para dewa yang sakral dan abadi melalui tindakan ritual. Seekor domba disembelih untuk meninggalkan tahun yang lama; penghinaan publik terhadap raja dan pemahkotaan raja yang zalim sebagai pengganti membangkitkan kembali kekacauan asal; pemberontakan menghidupkan kembali pertarungan dewa-dewa melawan kekuatan perusak.

Dengan demikian, perbuatan-perbuatan simbolik memiliki nilai sakramental; tindakan itu membuat orang Babilonia mampu menenggelamkan diri ke dalam kekuatan suci atau mana yang menjadi tempat bergantung peradaban besar mereka. Kebudayaan dirasakan sebagai sebuah pencapaian yang rentan, yang selalu bisa menjadi korban kekuatan yang mengacaukan dan memecah belah. Pada senja hari keempat Festival itu, para pendeta dan penyanyi paduan suara memenuhi bait suci untuk menyenandungkan Enuma Elish, puisiepik yang merayakan kemenangan para dewa atas kejahatan. Kisah ini bukanlah peristiwa faktual tentang asal usul fisik kehidupan dibumi, melainkan suatu upaya simbolik yang hati-hati untuk mengungkap sebuah misteri besar dan membebaskan kekuatan sucinya. Pengisahan harfiah tentang penciptaan adalah mustahil, sebab tidak ada orang yang hadir pada saat peristiwa-peristiwa yang tak terbayangkan itu terjadi: mitos dan simbol dengan demikian merupakan satu-satunya cara yang sesuai untuk menjelaskannya. Pandangan sekilas atas Enuma Elish memberi kita wawasan tentang spiritualitas yang melahirkan konsep kita tentang Tuhan Pencipta berabad-abad kemudian. Meskipun kisah biblikal dan Qurani tentang penciptaan akan mengambil bentuk yang sama sekali berbeda, mitos-mitos aneh ini tidak pernah benar-benar hilang, tetapi akan kembali masuk kedalam sejarah Tuhan di kemudian hari, dikemas dalam sebuah idiom monoteistik.

Kisah dimulai dengan penciptaan dewa-dewa itu sendiri, sebuah tema yang—sebagaimana akan kita saksikan nanti—menjadi begitu penting dalam mistisisme Yahudi dan Muslim. Pada mulanya, seperti dituturkan dalam Enuma Elish, dewa-dewa muncul berpasangan dari sebuah substansi berair yang tidak berbentuk—sebuah substansi yang dengan sendirinya suci. Dalam mitos Babilonia—seperti yang kemudian tercantum dalam Alkitab—tak ada penciptaan yang bermula dari ketiadaan, itu sebuah gagasan yang asing bagi dunia kuno. Sebelum dewa-dewa maupun manusia ada, bahan mentah yang suci ini telah ada secara abadi. Ketika orang Babilonia mencoba membayangkan zat primordial suci ini, mereka berpikir ia pasti mirip dengan tanah berpaya di Mesopotamia, yang tak henti-hentinya terancam banjir yang akan menyapu habis karya-karya manusia yang lemah. Oleh karena itu, dalam Enuma Elish, kekacauan {chaos) bukan berupa api panas yang mendidihkan, melainkan sebuah keadaan dimana segala sesuatu menjadi tanpa batas, definisi, dan identitas:
Tatkala yang manis dan pahit menyatu,
tak ada buluh yang terjalin,
tak ada ketergesaan yang mengeruhkan air,
dewa-dewa tak bernama, tak berwatak dan, tak bermasa depan.
Kemudian tiga dewa muncul dari pusat tanah berpaya; Apsu (diidentifikasikan sebagai air sungai yang manis), istrinya, Tiamat (laut yang asin), dan Mummu, Rahim kekacauan. Namun, ketiga de­wa ini bisa dikatakan merupakan model awal dan inferior yang memerlukan perbaikan. Nama "Apsu" dan "Tiamat" dapat diterjemahkan sebagai "jurang", "kehampaan" atau "teluk tak berdasar". Mereka sama-sama memiliki potensi tak berbentuk dari ketiadaan bentuk yang azali dan belum mencapai suatu identitas yang jelas.

Selanjutnya, serangkaian dewa-dewa lain muncul dari mereka dalam proses yang disebut sebagai emanasi, yang akan menjadi sangat penting dalam sejarah Tuhan kita sendiri. Dewa-dewa baru dilahirkan dari dewa-dewa yang lain secara berpasangan, masing-masingnya mendapatkan definisi yang lebih besar dari yang sebelumnya seiring langkah maju evolusi keilahian. Pertama-tama datang Lahmu dan Lahamn (nama-nama mereka berarti "endapan lumpur"; air dan tanah masih bercampur menjadi satu). Kemudian muncul Ansher dan Kishar yang secara berurutan diidentifikasi dengan horizon langit dan laut. Setelah itu Anu (langit) dan Ea (bumi) tiba dan rae-nyempurnakan proses itu. Alam suci mempunyai langit, sungai-sungai,dan bumi yang berbeda dan terpisah satu sama lain. Namun, pen­ciptaan baru saja dimulai; kekuatan jahat dan pemecah belah hanya bisa dikalahkan melalui perjuangan sengit dan tanpa henti. Dewa-dewa yang lebih muda dan dinamis bangkit melawan tetua mereka, tetapi meskipun Ea mampu mengalahkan Apsu dan Mummu, dia tak berdaya menghadapi Tiamat, yang menghasilkan serombongan monster beraneka ragam bentuk untuk berperang atas namanya. Untungnya Ea punya anak kandung yang luar biasa: Marduk, Dewa Matahari, spesimen keturunan dewa yang paling sempurna. Dalam sebuah pertemuan Majelis Agung para dewa, Marduk berjanji memerangi Tiamat dengan syarat bahwa dialah yang nanti menjadi penguasa mereka. Akan tetapi, dia baru berhasil membunuh Tiamat dengan bersusah payah dan setelah melewati pertarungan yang lama dan berbahaya. Dalam mitos ini, kreativitas adalah sebuah pertarungan, diraih dengan susah payah setelah menempuh berbagai macam rintangan.

Bagaimanapun, pada akhirnya, Marduk berhasil mengangkangi mayat Tiamat yang raksasa dan memutuskan untuk menciptakan sebuah dunia baru; dia membelah tubuh Tiamat menjadi dua untuk membentuk lengkungan langit dan bumi manusia; kemudian dia merancang undang-undang yang akan menjaga agar segala sesuatu tetap berada pada posisinya yang telah ditentukan. Ketertiban mesti dicapai, tetapi kemenangan belum lagi sempurna. Kemenangan itu mesti dimantapkan kembali, melalui liturgi khusus, tahun demi tahun. Kemudian para dewa berkumpul di Babilonia, pusat bumi baru, dan mendirikan sebuah kuil tempat ritus-ritus langit diselenggarakan. Hasilnya adalah ziggurat besar untuk menghormati Marduk, "kuilbumi, simbol ketak-terbatasan langit." Tatkala kuil itu telah selesai, Marduk menempati singgasananya di puncak kuil dan dewa-dewa menggemakan suara: "Inilah Babilonia, kota kesayangan para dewa, tanah airmu yang tercinta!" Kemudian mereka melakukan liturgi "dari sumber di mana semesta memperoleh strukturnya, dunia gaib menjadinyata dan dewa-dewa mengambil tempat mereka di dalam semesta."3 Hukum dan ritual ini mengikat setiap orang; bahkan para dewa mesti menaatinya demi menjamin keberlangsungan ciptaan.

Mitos mengekspresikan makna batin peradaban, sebagaimana orang Babilonia melihatnya. Mereka mengetahui betul bahwa nenek moyang mereka sendiri yang membangun ziggurat, tetapi kisah Enuma Elish menyuarakan kepercayaan mereka bahwa usaha kreatif mereka hanya mungkin bertahan jika memiliki keterkaitan dengan kekuatan ilahi. Liturgi yang mereka rayakan di Tahun Baru telah diciptakan sebelum manusia ada: liturgi itu tersurat dalam hakikat segala sesuatu, yang bahkan dewa-dewa tunduk kepadanya. Mitos itu juga mengekspresikan keyakinan mereka bahwa Babilonia adalah tempat suci, pusat dunia, dan tanah air dewata—sebuah pernyataan yang penting dalam hampir semua sistem keagamaan kuno. Ide tentang kota suci, tempat manusia merasakan kedekatan dengan kekuatan sakral, sumber segala wujud dan kesaktian, menjadi penting dalam ketiga agama monoteistik.

Akhirnya, hampir seperti sebuah kebetulan saja, Marduk rnenciptakan manusia. Marduk mengalahkan Kingu (teman dungu Tiamat yang diciptakannya setelah kekalahan Apsu), menebasnya, dan membentuk manusia pertama dengan cara mencampur darah dewa dengan abu. Para dewa menyaksikan dengan perasaan kaget dan takjub. Ada yang sedikit lucu dalam kisah mitikal tentang asal usul manusia ini; meski merupakan puncak penciptaan, tetapi manusia digambarkan berasal dari salah satu dewa yang paling bodoh dan tidak sakti. Akan tetapi, kisah itu mengandung satu hal penting lain. Manusia pertama diciptakan dari substansi seorang dewa; karenanya dia memiliki hakikat ilahiah, sekalipun terbatas. Tak ada jurang pemisah antara manusia dan dewa-dewa. Dunia alamiah, manusia, dan para dewa semuanya memiliki hakikat yang sama dan diturunkan dari substansi suci yang sama pula. Pandangan pagan bersifat holistik. Dewa-dewa tidaklah terasing dari umat manusia dalam kawasan ontologis yang terpisah: ketuhanan secara esensial tidak berbeda dari kemanusiaan. Oleh karena itu, tidak diperlukan sebuah wahyu khusus dari para dewa atau undang-undang ilahi untuk diturunkan ke bumi. Dewa-dewa dan manusia berbagi penderitaan yang sama, satu-satunya perbedaan di antara mereka adalah bahwa dewa-dewa itu lebih kuat dan abadi.

Visi holistik ini tidak terbatas di Timur Tengah, tetapi lazim diseluruh dunia kuno. Pada abad keenam SM, Pindar mengungkapkan versi Yunani tentang keyakinan ini dalam odenya mengenai pertandingan Olimpiade:
Satu pertarungan, satu antara manusia dan dewa-dewa;
Dari satu ibu kita berdua menarik napas.
Tetapi perbedaan kekuatan dalam segalanya
Memisahkan kita;
Karena tanpa yang lain kita tiada, kecuali langit yang perkasa,
Tetap tidak berubah untuk selamanya.
Namun dalam keagungan pikiran atau jasad
Kita bisa menjadi seperti yang Abadi.
Bukannya memandang para atlet sebagaimana adanya, yang masing-masing berpacu mencapai prestasi pribadi terbaiknya, Pindar menempatkan mereka berhadap-hadapan dengan dewa-dewa, yang menjadi pola bagi semua cita-cita manusia. Manusia meniru dewa-dewa bukan sebagai wujud yang tak berdaya, melainkan untuk memenuhi potensi mereka yang secara esensial berwatak ilahiah.

Mitos Marduk dan Tiamat tampaknya telah mempengaruhi orang Kanaan, yang memiliki kisah yang amat mirip tentang Baal-Habad, dewa badai dan kesuburan, yang sering disebut dalam Alkitab dengan cara yang jauh dari memuji. Kisah pertarungan Baal dengan Yam-Nahar, dewa laut dan sungai, diceritakan dalam lembaran yang ditulis sekitar abad keempat belas SM. Baal dan Yam keduanya tinggal bersama El, Dewa Tertinggi Kanaan. Pada Majelis El, Yam menuntut agar Baal diserahkan kepadanya. Dengan menggunakan dua senjata magis, Baal malah mengalahkan Yam dan nyaris membunuhnya andaikata Asyera (istri El dan ibu para dewa) tidak memohon dengan mengatakan bahwa membunuh lawan yang sudah tidak berdaya adalah tidak terhormat. Baal merasa malu dan melepaskan Yam, yang mewakili keganasan laut clan sungai yang tak henti-hentinya mengancam akan membanjiri bumi. Sedangkan Baal, dewa badai, membuat bumi menjadi subur.

Versi lain dari mitos itu menyebutkan bahwa Baal membunuh Lotan, naga berkepala-tujuh, yang dalam bahasa Ibrani disebut Leviathan. Dalam hampir semua kebudayaan, naga menyimbolkan sesuatu yang laten, tak berbentuk, dan tak kentara. Dengan demikian, Baal telah menghentikan kemungkinan untuk kembali ke dalam ketiadaan bentuk primal lewat tindakan yang betul-betul kreatif dan dianugerahi sebuah istana indah yang didirikan oleh para dewa untuk menghormatinya. Oleh karena itu, dalam setiap agama kuno, kreativitas dipandang suci: kita masih menggunakan bahasa agama untuk berbicara tentang "inspirasi" kreatif yang memperbarui realitas dan menyegarkan pemaknaan tentang dunia.

Akan tetapi, Baal kemudian mengalami kemunduran: dia mati dan harus turun ke alam Mot, dewa kematian dan sterilitas. Tatkala mendengar tentang nasib anaknya, Dewa Tertinggi El turun dari singgasananya, membalut Baal dan merajah pipinya, namun tetap tidak bisa menebus putranya. Adalah Anat, kekasih dan saudara perempuan Baal, yang meninggalkan alam suci dan pergi mencari belahan jiwanya, "merindukannya bagaikan induk sapi atau induk domba mencari anaknya."5  Ketika dia menemukan mayat Baal, dia menye-lenggarakan upacara pemakaman untuk mengagungkannya, menangkap Mot, menebasnya dengan pedang, membelah, membakar, dan menginjak-injaknya seperti jagung sebelum kemudian menyemaikannya ke tanah.

Kisah yang mirip juga diceritakan tentang dewi agung lainnya—Inana, Isytar, dan Isis—-yang mencari mayat dewa dan membawa kehidupan baru ke atas bumi. Akan tetapi, kemenangan Anat harus diperbarui dan tahun ke tahun melalui upacara ritual. Belakangan—kita tak tahu entah dengan cara bagaimana, sebab pengetahuan kita tidak lengkap—Baal hidup lagi dan kembali ke pangkuan Anat. Pemujaan akan keutuhan dan harmoni, yang disimbolisasikan oleh kesatuan seks, dirayakan melalui seks ritual di kalangan masyarakat Kanaan kuno. Dengan meniru para dewa melalui cara ini, umat manusia ikut berjuang melawan sterilitas dan memastikan kreativitas serta kesuburan dunia. Kematian seorang dewa, pencarian sang dewi, dan keberhasilan untuk kembali ke alam suci merupakan tema-tema keagamaan yang konstan dalam banyak budaya dan akan muncul kembali dalam agama-agama dengan Satu Tuhan yang disembah oleh umat Yahudi, Kristen, dan Islam.

Agama ini di dalam Alkitab dinisbahkan kepada Abraham (Nabi Ibrahim), yang meninggalkan Ur dan akhirnya menetap di Kanaan pada suatu masa antara abad kedua puluh dan kesembilan belas SM. Kita tak memiliki riwayat kontemporer tentang Abraham, tetapi para peneliti menduga bahwa Abraham mungkin sekali merupakan salah seorang pemimpin kafilah pengembara yang membawa rakyatnya dari Mesopotamia menuju Laut Tengah pada akhir milenium ketiga SM. Para pengembara ini—sebagian dari mereka disebut Abiru, Apiru,dan Habiru dalam sumber-sumber Mesopotamia dan Mesir—berbicara dalam bahasa Semitik Barat, yang mana bahasa Ibrani adalah salah satunya. Mereka bukanlah kaum nomad padang pasir yang reguler sebagaimana orang Badui yang berimigrasi bersama ternak-ternak mereka sesuai pergantian musim. Mereka lebih sulit diklasifikasikan dan sering terlibat konflik dengan autoritas-autoritas konservatif. Status kultural mereka biasanya lebih tinggi dibanding penduduk padang pasir itu. Sebagian bekerja sebagai tentara bayaran, pegawai pemerintah, ada yang menjadi pedagang, pelayan, atau tukang besi. Sebagian diantara mereka menjadi kaya raya dan kemudian berupaya mempunyai tanah dan bermukim menetap. Kisah-kisah tentang Abraham di dalam kitab Kejadian menceritakan bahwa dia bekerja pada Raja Sodom sebagai prajurit bayaran dan bahwa dia sering berkonflik dengan autoritas Kanaan dan daerah sekitarnya. Pada akhirnya, ketika istrinya, Sara, meninggal, Abraham membeli tanah di Hebron, yang sekarang terletak di Tepi Barat.

Kisah dalam kitab Kejadian tentang Abraham dan anak keturunannya mengindikasikan adanya tiga gelombang kedatangan orang Ibrani di Kanaan, kawasan Israel pada era modern. Salah satunya terkait dengan Abraham dan Hebron, terjadi sekitar1850 SM. Gelombang kedua berkaitan dengan cucu Abraham, Yakub, yang diganti namanya menjadi Israel ("Semoga Tuhan menunjukkan kekuasaannya"); dia menetap di Sikhem, yang sekarang menjadi kota Arab Nablus di Tepi Barat. Alkitab menceritakan kepada kita bahwa putra Yakub, yang menjadi leluhur dua belas suku keturunan Israel, beremigrasi ke Mesir selama musim paceklik yang hebat di Kanaan. Gelombang ketiga pemukiman Ibrani terjadi sekitar1200 SM ketika suku-suku yang mengaku keturunan Abraham tiba di Kanaan dari Mesir. Mereka mengatakan bahwa mereka telah dijadikan budak oleh orang Mesir, tetapi dimerdekakan oleh suatu ilah bernamaYahweh, yang juga merupakan tuhan pemimpin mereka, Musa. Setelah mendesak masuk ke Kanaan, mereka beraliansi dengan orang Ibrani yang ada di sana dan kemudian disebut sebagai orang Israel. Alkitab membuat jelas bahwa orang-orang yang kita kenal sebagai bangsa Israel kuno merupakan konfederasi berbagai kelompok etnis, yang secara mendasar disatukan oleh kesetiaan mereka kepadaYahweh, Tuhan Musa. Akan tetapi, kisah biblikal itu ditulis beberapa abad setelahnya, sekitar abad kedelapan SM, meskipun jelas disandarkan pada sumber-sumber narasi yang lebih awal.

Dalam abad kesembilan,-beberapa sarjana biblikal Jerman mengembangkan metode kritis yang menguraikan empat sumber berbeda dalam lima kitab pertama Alkitab: Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, dan Ulangan. Ini kemudian dikumpulkan menjadi sebuah naskah akhir yang kita kenal sebagai Lima Kitab Musa (Pentateukh) pada abad kelima SM. Bentuk kritisisme semacam ini telah mendapat banyak perlakuan keras, namun tak ada seorangpun yang mampu menciptakan teori yang lebih memuaskan untuk menjelaskan mengapa terdapat kisah yang cukup berbeda tentang peristiwa-peristiwa biblikal penting, seperti Penciptaan dan Air Bah, dan mengapa kadangkala Alkitab mengandung pertentangan dalam dirinya sendiri. Dua penulis biblikal paling awal, yang karyanya dapat ditemukan dalam kitab Kejadian dan Keluaran, kemungkinan menulis pada abad kedelapan SM, walaupun ada yang menyebut kemungkinan penulisan di masa yang lebih awal. Salah satunya dikenal sebagai "J" karena dia menyebut nama Tuhannya dengan"Yahweh", yang lainnya disebut "E" karena dia lebih suka menggunakan nama ketuhanan yang lebih formal, "Elohim". Pada abad kedelapan, orang Israel telah membagi Kanaan menjadi wilayah dalam dua kerajaan terpisah. J menulis di Kerajaan Yehuda di sebelah selatan, sementara E berasal dari Kerajaan Israel di sebelah utara (lihat Peta2 di halaman 8). Kita akan mendiskusikan dua sumber lain Lima Kitab Musa—tradisi Deuteronomis (D) dan Para Imam (P) tentang sejarah Israel kuno—pada Bab 2.

Kita akan melihat bahwa dalam banyak hal, baik J dan E mempunyai perspektif keagamaan yang mirip dengan tetangga mereka di Timur Tengah, tetapi kisah-kisah mereka memang memperlihatkan bahwa pada abad kedelapan SM, orang Israel mulai mengembangkan visi mereka sendiri yang khas. J, misalnya, memulai sejarah Tuhannya dengan kisah tentang penciptaan dunia, yang, jika dibandingkan dengan Enuma Elish, sangat tidak antusias:
Ketika TUHAN [Yahweh] Allah menjadikan bumi dan langit—belum ada semak apa pun di bumi, belum timbul tumbuh-tumbuhan apapun di padang, sebab TUHAN Allah belum menurunkan hujan kebumi, dan belum ada orang untuk mengusahakan tanah itu; tetapi, ada kabut naik ke atas dari bumi dan membasahi seluruh permukaan bumi itu—ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia (adam) itu dari debu tanah (adamah) dan mengembuskan napas hidup kedalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yanghidup.6
Ini benar-benar merupakan titik berangkat yang baru. Alih-alih berkonsentrasi kepada penciptaan dunia dan pada periode prasejarah sebagaimana kaum pagan sezamannya di Mesopotamia dan Kanaan, J lebih tertarik pada periode historis yang biasa. Tak terdapat ketertarikan yang sungguh-sungguh tentang penciptaan di Israel hingga abad keenam SM ketika pengarang yang kita sebut "P" menuliskan kisahnya yang hebat dalam apa yang sekarang merupakan bab pertama kitab Kejadian. J tidak secara mutlak yakin bahwa Yahweh adalah satu-satunya pencipta langit dan bumi. Namun, yang paling mencolok adalah persepsi J tentang perbedaan nyata antara manusia dengan tuhan. Bukannya tersusun dari zat suci yang sama dengan tuhannya, manusia (adam), bagai sebuah permainan kata, adalah bagian dari tanah (adamah).

Tidak seperti tetangga pagannya, J tidak mengesampingkan sejarah duniawi sebagai sejarah yang profan, lemah, dan tak sub-stansial dibandingkan sejarah dewa-dewa yang suci dan primordial. Dia bergegas melewati peristiwa-peristiwa prasejarah hingga tiba dipenghujung periode mitis, yang mencakup kisah-kisah seperti Air Bah dan Menara Babel, kemudian tiba di permulaan sejarah Israel. Ini secara mendadak diawali pada bab kedua belas tatkala manusia Abram, yang kemudian diberi nama baru Abraham ("bapa sejumlahbesar bangsa"), diperintahkan oleh Yahweh meninggalkan keluarganya di Haran, yang kini menjadi wilayah timur Turki, dan bermigrasi ke Kanaan dekat Laut Tengah. Kita diberi tahu bahwa ayahnya, Terah, seorang pagan, sudah lebih dahulu bermigrasi ke arah barat dari Ur bersama keluarganya. Kini Yahweh mengatakan kepada Abraham bahwa dia memiliki takdir istimewa: dia akan menjadi bapak sebuah bangsa besar yang suatu hari akan berjumlah lebih banyak daripada bintang-bintang di langit, dan suatu ketika anak keturunannya akan menguasai tanah Kanaan sebagai milik mereka. Kisah J tentang panggilan bagi Abraham ini menetapkan nada awal bagi sejarah Tuhan ini di masa depan. Di Timur Tengah kuno, mana yang suci dialami dalam ritual dan mitos. Marduk, Baal, dan Anat tidak diharapkan terlibat dalam kehidupan awam yang profan dari para penyembahnya: tindakan-tindakan mereka telah berlangsung dalam waktu yang sakral. Akan tetapi, kekuasaan Tuhan Israel bekerja secara langsung dalam peristiwa-peristiwa di dunia nyata. Dia dialami sebagai sesuatu yang ada di sini dan pada saat ini. Wahyu pertamanya berisikan sebuah titah: Abraham harus meninggalkan negerinya dan pergi ke Kanaan.

Akan tetapi, siapakah Yahweh? Apakah Abraham menyembah Tuhan yang sama dengan Musa atau apakah dia mengenalnya dengan nama yang berbeda? Ini adalah persoalan penting bagi kita padamasa sekarang, tetapi Alkitab, anehnya, tampak kabur dalam hal ini dan memberikan jawaban yang bertentangan. J menyatakan bahwa manusia telah menyembah Yahweh sejak masa cucu Adam, tetapi pada abad keenam, P sepertinya menyiratkan bahwa orang Israe ltidak pernah mendengar tentang Yahweh hingga dia menampakkan diri kepada Musa di Semak Menyala. P membuat Yahweh menjelaskan bahwa sebenarnya dia adalah Tuhan yang sama dengan Tuhan Abraham, seakan-akan ini merupakan pernyataan yang agak kontroversial: dia mengatakan kepada Musa bahwa Abraham memanggilnya "El Shaddai" dan tidak mengetahui nama suci "Yahweh".7  Kesenjangan itu tampaknya tidak terlalu merisaukan para penulis atau editor biblikal. J selamanya menyebut tuhannya "Yahweh": pada masa diamenuliskan itu, Yahweh memang adalah Tuhan Israel dan itulah kenyataannya. Agama Israel bersifat pragmatis dan hanya sedikit memedulikan perincian spekulatif semacam ini yang biasanya menarik perhatian kita sekarang. Namun demikian, kita tidak bisa berasumsi bahwa Abraham dan Musa beriman kepada Tuhan mereka dengan cara sebagaimana kita saat ini. Kisah-kisah biblikal dan sejarah Israel begitu populer sehingga kita cenderung memproyeksikan pengetahuan kita tentang agama Yahudi yang kemudian kepada tokoh-tokoh sejarah awal yang terkemuka ini. Oleh karena itu, sering kita asumsikan bahwa ketiga patriark Israel—Abraham, putranya Ishak, dan cucunya Yakub—adalah monoteis, bahwa mereka beriman kepada hanya satu Tuhan. Keadaannya barangkali tidak demikian. Bahkan mungkin lebih akurat untuk menyebut orang-orang Ibrani awal ini adalah kaum pagan yang banyak memiliki kesamaan kepercayaan keagamaan dengan tetangga mereka di Kanaan. Mereka mungkin sekali juga meyakini eksistensi sesembahan, seperti Marduk, Baal, dan Anat. Mungkin pula tidak semua mereka menyembah ilah yang sama: barangkali Tuhan Abraham adalah "Takut" atau "Saudara Sesuku", Tuhan Ishak adalah "Yang Perkasa", dan Tuhan Yakub adalah tiga tuhan yang berbeda.8

Kita bisa melangkah lebih jauh. Adalah sangat mungkin bahwa Tuhan Abraham adalah El, Tuhan Tertinggi Kanaan. Tuhan itu memperkenalkan dirinya kepada Abraham sebagai El Shaddai (El Pegu-nungan), salah satu gelar tradisional El.9 Di tempat lain, dia disebut El Eliyon (Tuhan yang Mahatinggi) atau El dari Betel. Nama Tuhan Tertinggi Kanaan terekam dalam nama-nama berbahasa Ibrani, seperti Isra-El atau Ishma-El. Mereka mengalaminya melalui cara-cara yang tidak lazim bagi kaum pagan Timur Tengah. Akan kita saksikan bahwa beberapa abad kemudian orang Israel menemukan mana atau "kesucian" Yahweh sebagai pengalaman yang menggentarkan. Di Gunung Sinai, misalnya, dia menampakkan diri kepada Musa ditengah letusan gunung api yang menginspirasikan kekaguman.

Sebagai perbandingan, El bagi Abraham adalah tuhan yang sangat lembut. Dia menampakkan diri kepada Abraham sebagai seorang teman dan kadang dengan rupa manusia. Jenis penampakan ini, disebut sebagai epifani, cukup lazim di dunia pagan kuno. Meskipun biasanya dewa-dewa tidak diharapkan campur tangan langsung terhadap kehidupan terbatas umat manusia, beberapa individu istimewa di era mitikal telah bertemu muka dengan dewa-dewa mereka. Iliad sarat dengan epifani semacam itu. Para dewa dan dewi menampakkan diri kepada orang-orang Yunani dan Trojan melalui mimpi, ketika batas antara alam manusia dan alam suci diyakini sedang didekatkan. Pada bagian paling akhir dari Iliad, Priam dibimbing menuju kapal-kapal Yunani oleh seorang pemuda tampan yang kemudian memperkenalkan dirinya sebagai Hermes.10

Ketika orang Yunani melihat kembali ke zaman keemasan pahlawan-pahlawan mereka, mereka merasa begitu dekat dengan paradewa yang, pada dasarnya, berwatak sama dengan manusia. Kisah-kisah penampakan tuhan ini mengungkapkan visi holistik pagan: ketika yang suci tidak berbeda secara esensial dengan semesta maupun manusia, ia dapat dialami tanpa susah payah. Dunia penuh de­ngan dewa, yang dapat dirasakan secara tak terduga kapan saja, disemua penjuru atau dalam diri orang tak dikenal yang sedang berpapasan. Tampaknya orang awam percaya bahwa pertemuan ilahi seperti itu mungkin terjadi dalam kehidupan mereka: ini bisa menjelaskan cerita aneh dalam Kisah Para Nabi ketika, di akhir abad pertama M, rasul Paulus dan muridnya, Barnabas, keliru dikira Zeus dan Hermes oleh orang-orang Listra, kawasan yang kini adalah Turki.11

Dalam cara yang hampir sama, ketika orang Israel menengok ke masa lalu kejayaan mereka, mereka melihat Abraham, Ishak, danYakub hidup secara akrab dengan tuhan mereka. El memberi mereka saran yang bersahabat, seperti halnya seorang syaikh atau kepala kafilah: dia mengarahkan pengembaraan mereka, memberi tahu siapa yang baik untuk dinikahi, dan berbicara kepada mereka di dalam mimpi. Terkadang mereka seakan-akan melihat dia dalam rupa manusia—sebuah gagasan yang nantinya menjadi pangkal masalah bagi orang Israel. Dalam Kejadian18, J mengatakan kepada kita bahwa Tuhan menampakkan diri kepada Abraham di dekat pohon tarbantin di Mamre, dekat Hebron. Abraham menengadahkan pandangan dan melihat tiga orang tak dikenal mendekati tendanya disiang hari yang terik. Dengan sopan santun lazim Timur Tengah, dia mempersilahkan ketiga orang itu duduk dan beristirahat, sementara dia bersegera menyiapkan makanan buat mereka. Di tengah-tengah percakapan, terungkaplah, dengan sangat alami, bahwa satu di antara tiga orang tersebut tak lain adalah tuhannya, yang oleh J disebut "Yahweh". Sedangkan dua lelaki lain ternyata adalah malaikat. Tak seorang pun yang tampak terkejut oleh pengungkapan ini. Ketika J menulis pada abad kedelapan SM, tak ada orang Israel yang berharap untuk "melihat" Tuhan dengan cara seperti ini: kebanyakan akan menanggapinya sebagai sesuatu yang sangat mengejutkan. E, yang sezaman dengan J, merasa kisah-kisah lama tentang keintiman para patriark dengan Tuhan agak tidak biasa: ketika E menceritakan kisah pertemuan Abraham atau Yakub dengan Tuhan, dia lebih suka merentangkan jarak dalam kejadian itu dan mengurangi unsur antropomorfis dalam legenda tua itu. Dengan demikian, dia berkata bahwa Tuhan berbicara kepada Abraham melalui malaikat. Namun, J tidak menyukai cara yang bertele-tele ini dan mempertahankan cita rasa kuno tentang epifani primitif ini dalam kisah-kisahnya.

Yakub juga mengalami sejumlah epifani. Pada suatu kesempatan, dia memutuskan kembali ke Haran untuk mencari istri dari kalangan kerabatnya di sana. Belum lama berjalan, dia tertidur di Luz dekat bukit Yordan, dengan berbantalkan sebuah batu. Malam itu dia bermimpi melihat sebuah tangga yang menghubungkan langit dan bumi: malaikat naik turun antara alam tuhan dan alam manusia. Ini mengingatkan kita kembali tentang zigguratnya Marduk: di puncaknya, karena mengawang di antara langit dan bumi, manusia dapat bertemu dengan dewa-dewa. Pada puncak tangga dalam mimpinya,Yakub bertemu El, yang memberkatinya dan memberinya janji sebagaimana yang diberikannya kepada Abraham: keturunan Yakub akan berkembang menjadi sebuah bangsa yang besar dan akan menguasai tanah Kanaan. Dia juga membuat janji yang memberi kesan mendalam pada Yakub, seperti akan kita saksikan nanti. Agama pagan sering bersifat tentorial: suatu tuhan hanya memiliki yurisdiksi atas suatu kawasan tertentu, dan adalah bijaksana untuk menyembah tuhan-tuhan setempat ketika bepergian ke wilayah lain. Namun, El menjanjikan Yakub bahwa dia akan melindunginya ketika dia rae-tinggalkan Kanaan dan mengembara di negeri asing: "Aku menyertai engkau dan Aku akan melindungi engkau ke mana pun engkau pergi."12 Cerita epifani awal ini memperlihatkan bahwa Tuhan Tertinggi Kanaan mulai mendapatkan implikasi yang lebih universal.

Ketika terbangun, Yakub menyadari bahwa tanpa sadar dia telah bermalam di sebuah tempat suci di mana manusia bisa bercakap-cakap dengan tuhan mereka: "Sungguh, Yahweh berada di tempat ini, dan aku tidak mengetahuinya!" begitu dia berkata menurut J. Dia diliputi rasa kagum yang sering mengilhami orang pagan ketika mereka bertemu dengan kekuatan sakral: "Betapa menakjubkan tempat ini! Ini tak lain adalah rumah Tuhan (beth El); inilah pintu gerbang surga."13  Secara instingtif dia telah mengekspresikan dirinya dalam bahasa agama pada zaman dan kebudayaannya: Babilonia sendiri, sebagai tempat kediaman para dewa, disebut "Gerbang dewa-dewa" (Bab-ili). Yakub memutuskan untuk menasbihkan tanah suci ini dalam suatu cara pagan tradisional negeri itu. Dia mengambil batu yang tadi dipakainya sebagai alas kepala, mendirikannya menjadi tugu dan menuang minyak ke atasnya. Sejak saat itu, tempat tersebut tidak lagi disebut Lus, tetapi Betel, rumah El. Tugu batu merupakan kelaziman dalam kultus kesuburan orang Kanaan, yang, seperti akan kita saksikan, banyak ditemukan di Betel hingga abad kedelapan SM. Meskipun orang Israel generasi berikutnya dengan keras mengutuk jenis agama seperti ini, tempat suci pagan di Betel dalam legenda kuno terus dikaitkan dengan Yakub dan Tuhannya.

Sebelum meninggalkan Betel, Yakub telah memutuskan untuk menjadikan tuhan yang pernah dijumpainya di sana sebagai elohim: ini adalah istilah teknis yang merujuk kepada segala sesuatu yang dapat diartikan sebagai tuhan bagi manusia. Yakub telah memutuskan bahwa jika El (atau Yahweh, sebagaimana J menyebutnya) benar-benar dapat melindunginya di Haran, maka dia berarti benar-benar perkasa. Yakub mengadakan semacam tawar-menawar: sebagai balas jasa atas perlindungan khusus dari El, Yakub akan menjadikannya elohim bagi dirinya, satu-satunya tuhan yang dipercayainya. Kepercayaan Israel kepada Tuhan benar-benar bersifat pragmatis. Baik Abraham maupun Yakub menaruh iman mereka kepada El karena dia berguna bagi keduanya: mereka tidak perlu membuktikan bahwa dia ada; El bukanlah sebuah abstraksi filosofis. Di dunia kuno, mana adalah fakta kehidupan yang terbukti dengan sendirinya, dan suatu dewa menampakkan kelayakannya apabila mampu menyampaikan bukti ini secara efektif. Pragmatisme ini selalu menjadi satu faktor dalam sejarah Tuhan. Orang-orang akan terus mengadopsi sebuah konsepsi tertentu tentang tuhan karena konsep itu berguna bagi mereka, bukan karena ilmiah atau filosofis.

Beberapa tahun kemudian, Yakub kembali dari Haran bersama istri dan keluarganya. Ketika memasuki kembali wilayah Kanaan, dia mengalami lagi sebuah epifani yang aneh. Di Sungai Yabok di Tepi Barat, dia bertemu orang asing yang bergulat dengannya sepanjang malam. Saat fajar menyingsing, seperti kebanyakan wujud spiritual, lawannya berkata bahwa dia harus pergi. Namun, Yakub terus memeganginya: dia tak akan melepaskan orang itu sampai dia bersedia menyebutkan namanya. Di dunia kuno, mengetahui nama seseorang akan memberikan kekuatan untuk mengalahkan orang itu, dan tampaknya orang asing itu enggan memberikan sepenggal informasi ini. Lama kelamaan, Yakub menjadi sadar bahwa lawannya tak lain adalah El sendiri:
Bertanyalah Yakub: "Katakanlah juga namamu." Tetapi sahutnya: "Mengapa engkau menanyakan namaku?" Lalu diberkatinyalah Yakub di situ. Yakub menamai tempat itu dengan Pniel [Wajah El], sebab katanya: "Aku telah melihat Allah berhadapan muka, tetapi nyawaku tertolong!"1
Semangat epifani ini lebih dekat kepada Iliad dibanding kepada monoteisme Yahudi yang baru, ketika kedekatan hubungan dengan tuhan dianggap gagasan yang menghujat. Walaupun kisah-kisah kuno ini menceritakan pertemuan para patriark dengan tuhan dalam cara yang mirip sekali dengan kaum pagan yang sezaman dengan mereka, kisah-kisah itu sebenarnya memperkenalkan sebuah kategori baru pengalaman keagamaan. Disepanjang Alkitab, Abraham disebut sebagai seorang yang "beriman". Pada masa sekarang, kita cenderung mendefinisikan iman sebagai penegasan akal terhadap suatu kredo, tetapi, seperti yang telah kita saksikan, para penulis Alkitab tidak memandang iman kepada Tuhan sebagai keyakinan yang abstrak atau metafisikal. Ketika mereka memuji "iman" Abraham, mereka tidak bermaksud memuji ortodoksinya (penerimaan sebuah pandangan teologis yang benar tentang Tuhan) tetapi kepercayaannya, dalam cara yang agak mirip dengan cara kita menyatakan bahwa kita menaruh kepercayaan kepada sese­orang atau sebuah cita-cita.

Di dalam Alkitab, Abraham adalah seorang yang beriman karena dia percaya bahwa Tuhan akan menepati janji-janjinya, sekalipun janji-janji itu tampak tak masuk akal. Bagaimana mungkin Abraham dapat menjadi bapa sebuah bangsa yang besar jika istrinya, Sara, mandul? Bahkan membayangkan bahwa dia dapat mengandung seorang anak sungguh janggal—Sara telah melewati masa meno­pause—sehingga ketika mereka mendengar janji ini, Sara maupun Abraham tertawa. Ketika, di luar dugaan, anak laki-laki mereka akhirnya lahir, mereka menamainya Ishak, sebuah nama yang bisa diartikan "tertawa". Akan tetapi, dagelan itu berubah serius ketika Tuhan menetapkan tugas yang berat: Abraham hams mengurbankan anak lelaki tunggalnya kepada Tuhan.

Pengurbanan manusia merupakan hal lazim di dunia pagan. Kejam namun logis dan rasional. Anak pertama sering diyakini sebagai keturunan dewa, yang telah menghamili si ibu melalui tindakan droit de seigneur. Dalam memperanakkan, energi dewa menjadi menipis, maka untuk mengisinya kembali dan mempertahankan sirkulasi seluruh mana yang ada, anak pertama itu harus dikembalikan kepada orangtua dewatanya. Kasus Ishak sebenarnya berbeda. Ishak adalah hadiah dari Tuhan, bukan anak alamiahnya. Tak ada alasan untuk berkurban, tak ada kebutuhan untuk memulihkan kembali energi Tuhan. Bahkan, pengurbanan itu akan melenyapkan arti seluruh kehidupan Abraham, berdasarkan janji bahwa dia akan menjadi bapa bagi sebuah bangsa yang besar. Tuhan ini telah mulai dikonsepsikan secara berbeda dengan sebagian besar ilah di dunia kuno. Dia tidak terlibat dalam nestapa manusia; dia tidak membutuhkan masukan energi dari manusia. Dia berada dalam lingkup yang berbeda dan dapat menetapkan tuntutan apa saja yang diinginkan. Abraham memutuskan untuk mempercayai Tuhannya. Dia dan putranya, Ishak, melakukan perjalanan selama tiga hari ke Gunung Moria, yang kemudian menjadi tempat berdirinya Kuil di Yerusalem. Ishak, yang belum tahu apa-apa tentang titah ilahi, bahkan harus memikul kayu bakaran untuk pengurbanan dirinya sendiri. Baru pada saat-saat terakhir, ketika Abraham benar-benar telah siap dengan sebilah pisau di tangannya, Tuhan menjadi iba dan mengatakan kepada Abraham bahwa hal itu hanya sebuah ujian. Abraham telah membuktikan dirinya layak menjadi bapa sebuah bangsa besar, yang jumlahnya akan sebanyak taburan bintang di langit atau hamparan pasir dipantai.

Namun, bagi telinga orang-orang modern, ini merupakan kisah yang mengerikan: kisah ini melukiskan Tuhan sebagai sadis yang kejam dan tidak berpendirian. Tidak mengherankan jika banyak orang zaman sekarang yang mendengar cerita ini di masa kecilnya menolak ilah yang demikian. Mitos Pembebasan dari Mesir, ketika Tuhan membimbing Musa dan anak-anak Israel menuju kebebasan, sama ofensifnya terhadap sensibilitas modern. Kisah ini masyhur. Firaun berkeberatan untuk membiarkan orang Israel pergi, sehingga, untuk memaksanya, Tuhan mengirimkan sepuluh macam wabah mengerikan kepada bangsa Mesir. Sungai Nil berubah menjadi darah; daratan dipenuhi belalang dan katak; seluruh negeri diselimuti gelap gulita. Akhirnya Tuhan menimpakan wabah yang paling mengerikan dari semuanya: dia mengutus Malaikat Maut untuk mencabut nyawa setiap bayi laki-laki pertama seluruh orang Mesir, sembari membebaskan anak-anak budak Ibrani. Tidak mengherankan jika kemudian Firaun memutuskan untuk membiarkan orang Israel pergi, tetapi kemudian berubah pikiran dan mengejar mereka dengan bala tentaranya. Firaun menyusul mereka di Laut Merah, tetapi Tuhan menyelamatkan orang Israel dengan cara membelah laut dan membiarkan mereka berjalan menyeberang di tempat yang kering. Ketika orang Mesir mengikuti jejak mereka, Tuhan menutup kembali belahan itu dan menenggelamkan Firaun berikut balatentaranya.

Ini adalah gambaran tuhan yang brutal dan parsial: tuhan perang yang dikenal dengan sebutan Yahweh Sabaoth, Dewa Para Tentara. Dia adalah pemihak yang pilih kasih, tak menyayangi yang lain kecuali yang disenanginya dan sederhananya merupakan ilah bagi suatu suku saja. Jika Yahweh tetap menjadi tuhan yang seperti itu, maka semakin cepat dia tiada semakin baik bagi setiap orang. Akhir mitos Pembebasan, sebagaimana dituturkan dalam Alkitab, memang tidak dimaksudkan sebagai versi harfiah dari peristiwa itu. Akan tetapi, kisah itu mengandung pesan yang jelas bagi orang Timur Tengah kuno, yang terbiasa dengan dewa-dewa yang membelah laut menjadi dua. Namun, tidak seperti Marduk dan Baal, Yahweh dikisahkan membelah sebuah laut fisik di dunia profan dalam waktu historis.

Ketika orang Israel mengisahkan kembali peristiwa Pembebasan, mereka tidak tertarik kepada keakuratan sejarah sebagaimana kita sekarang. Alih-alih, mereka ingin mengangkat arti penting peristiwa aslinya, apa pun bentuknya. Beberapa sarjana modern menyatakan bahwa kisah Pembebasan merupakan penafsiran mistikal atas keberhasilan pemberontakan kaum tani terhadap pemerintahan Mesir dan sekutu-sekutunya di Kanaan.15 Ini peristiwa yang sangat jarang terjadi pada masa itu dan akan menciptakan kesan mendalam yang tak terhapuskan pada setiap orang yang terlibat di dalamnya. la juga merupakan pengalaman luar biasa pemberdayaan kaum tertindas menentang penguasa.

Kita akan menyaksikan bahwa Yahweh tidak terus menjadi tuhan Pembebasan yang kejam dan keras, meskipun mitos itu penting dalam ketiga agama monoteistik. Tampaknya cukup mengherankan bahwa orang Israel kemudian mentransformasinya hingga berbeda sama sekali, menjadi simbol transendensi dan kasih sayang. Namun, kisah Pembebasan yang berlumur darah itu terus mengilhami konsepsi yang berbahaya tentang tuhan dan teologi yang sarat dendam. Kita akan menyaksikan bahwa pada abad ketujuh SM, penulis tradisi Deuteronomis (D) akan menggunakan mitos tua itu untuk mengilustrasikan teologi keterpilihan yang menakutkan. Teologi inilah yang, pada berbagai masa, telah memainkan peran menentukan dalam sejarah ketiga agama itu. Seperti halnya semua gagasan manusia, ide tentang Tuhan bisa dieksploitasi dan disalahgunakan. Mitos tentang Umat Pilihan atau pilihan tuhan sering mengilhami teologi kesukuan yang picik sejak era Deuteronomis hingga era fundamentalismeYahudi, Kristen, dan Muslim yang sedihnya masih menyebar padamasa kita sekarang ini. Namun, Deuteronomis juga melestarikan interpretasi mitos Pembebasan yang sama kuat tetapi berpengaruh lebih positif dalam sejarah monoteisme, yakni yang berbicara tentang Tuhan sebagai pembela pihak yang lemah dan tertindas. Dalam Ulangar 26, kita menemukan apa yang mungkin merupakan interpretasi awal terhadap kisah Pembebasan sebelum dituliskan dalam narasi J dan E. Orang Israel diperintahkan untuk mempersembahkan panen pertama mereka kepada para rahib Yahweh dan memberi penegasan berikut:
Bapaku dahulu seorang Aram. la pergi ke Mesir dengan sedikit orang saja dan tinggal di sana sebagai orang asing, tetapi di sana ia akan menjadi suatu bangsa yang besar, kuat, dan banyak jumlahnya. Ketika orang Mesir menganiaya dan menindas kami dan menyuruh kami melakukan pekerjaan yang berat, maka kami berseru kepada TUHAN, Allah nenek moyang kami, lalu TUHAN mendengar suara kami dan melihat kesengsaraan dan kesukaran kami dan penindasan terhadap kami. Lalu TUHAN membawa kami keluar dari Mesir dengan tangannya yang kuat dan lengan yang teracung, dengan kedahsyatan yang besar, dan dengan tanda-tanda serta mukjizat-mukjizat. Ia membawa kami ke tempat ini [ke Kanaan], dan memberikan kepada kami tempat ini, suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya. Oleh sebab itu, di sini aku membawa hasil pertama dan bumi yang telah Kau berikan kepadaku, ya TUHAN.16
Tuhan yang telah mengilhami pemberontakan kelompok petani pertama dalam sejarah adalah Tuhan revolusi. Dalam ketiga agama, dia telah mengilhami cita-cita keadilan sosial, meskipun harus dikatakan bahwa orang Yahudi, Kristen, dan Muslim acap gagal meraih cita-cita ini dan bahkan telah mentransformasinya menjadi Tuhan status quo.

Orang Israel menyebut Yahweh "Tuhan nenek moyang kami", meskipun tampak bahwa dia merupakan ilah yang berbeda dari El, Tuhan Tertinggi Kanaan yang disembah oleh para patriark. Dia mungkin telah menjadi tuhan orang lain sebelum menjadi Tuhan Israel. Dalam penampakan pertamanya kepada Musa, Yahweh berulang-ulang menegaskan dan dengan panjang lebar bahwa dia benar-benar merupakan Tuhan Abraham, meskipun pada awalnya dia disebut El Shaddai. Penegasan ini mengabadikan gema debat pertama tentang identitas Tuhan Musa. Telah disinggung bahwaYahweh pada awalnya merupakan dewa para prajurit, dewa gunung berapi, dewa yang disembah di Midian, sebuah kawasan yang kini disebut Yordania.17 Kita takkan pernah tahu di mana orang Israel menemukan Yahweh, jika dia benar-benar merupakan ilah yang sama sekali baru. Lagi-lagi, ini akan menjadi persoalan yang sangat penting bagi kita pada masa sekarang, tetapi tidak demikian halnya bagi para penulis biblikal. Di zaman antik pagan, dewa-dewa sering digabungkan dan disatukan, atau dewa-dewa di satu kawasan dipandang identik dengan dewa kawasan lain. Yang dapat kita yakini adalah bahwa, apa pun sumbernya, peristiwa Pembebasan telah membuat Yahweh menjadi Tuhan Israel yang definitif dan bahwa Musa mampu meyakinkan orang Israel bahwa dia sungguh-sungguh satu dan sama dengan El, Tuhan yang dicintai oleh Abraham, Ishak,dan Yakub.

Apa yang disebut sebagai "Teori Midianite"— yakni bahwaYahweh pada dasarnya adalah Tuhan bagi orang-orang Midian— biasanya didiskreditkan pada masa sekarang, tetapi di Midianlah Musa pertama kali melihat Yahweh. Dapat diingat lagi bahwa Musa terpaksa meninggalkan Mesir karena telah membunuh seorang penduduk Mesir yang didapatinya tengah menyiksa seorang budak berkebangsaan Israel. Musa mencari perlindungan di Midian, lalu menikah di sana. Ketika sedang menggembalakan domba milik mertuanya, dia melihat seberkas cahaya aneh: serumpun semak tampak menyala tapi tidak terbakar. Saat dia mendekat untuk menyelidiki, Yahweh memanggil namanya dan Musa menyahut: "Aku disini" (hinenif), jawaban setiap nabi Israel ketika bertemu muka dengan Tuhan yang menghendaki perhatian dan kesetiaan total:
"Janganlah datang dekat-dekat: tanggalkan kasutmu dari kakimu, sebab tempat, di mana engkau berdiri itu, adalah tanah yang kudus." Lagi la berfirman: "Akulah Allah ayahmu, Allah Abraham, Allah Ishak, dan AllahYakub." Lalu Musa menutup mukanya, karena ia takut memandangAllah.18
Meskipun penegasan yang pertama adalah bahwa Yahweh sesungguhnya merupakan Allah Abraham, ini jelas-jelas merupakan ilah yang sangat berbeda dari yang pernah duduk dan makan bersama Abraham layaknya seorang sahabat. Dia menginspirasikan rasa takut dan mempertegas jarak. Ketika Musa menanyakan nama dan jati dirinya, Yahweh menjawab dengan sebuah permainan kata yang, sebagaimana akan kita saksikan, membingungkan para monoteis selama berabad-abad. Alih-alih secara langsung mengungkapkan namanya, dia menjawab: "Aku adalah Aku" (Ehyeh asher ehyeh)}9 Apa yang dia maksud? Dia tentunya tidak bermaksud, sebagaimana ditegaskan para filosof kemudian, bahwa dia adalah Wujud yang ada dengan sendirinya. Bangsa Ibrani tidak memiliki dimensi metafisikal semacam itu pada tahap ini, dan baru sekitar 2.000 tahun kemudian hal itu diperoleh. Tuhan tampaknya memaksudkan sesuatu yang lebih langsung. Ehyeh asher ehyeh adalah sebuah idiom Ibrani untuk mengungkapkan kesamaran yang disengaja. Ketika Alkitab menggunakan frase seperti, "mereka pergi ke mana mereka pergi," itu artinya: "saya sama sekali tidak tahu ke mana mereka pergi." Jadi, ketika Musa bertanya siapa gerangan dia, Tuhan menjawabnya:" Jangan pikirkan siapa Aku!" atau "Pikirkan dirimu sendiri!" Tak perlu berdiskusi tentang hakikat Tuhan dan tentunya tak ada upaya untuk memanipulasinya sebagaimana terkadang dilakukan oleh kaum pagan saat mereka menyebut nama-nama Tuhan mereka. Yahweh adalah Zat Yang Mutlak: "Aku adalah Aku." Dia akan menjadi apa yang dia pilih dan tidak memberi jaminan apa pun. Dia hanya berjanji
bahwa dia akan melibatkan diri dalam sejarah umatnya. Mitos Pembebasan memberi bukti meyakinkan: ia mampu membersitkan harapan baru bagi masa depan, bahkan dalam keadaan yang mustahil.

Ada harga yang mesti dibayar demi rasa berdaya yang baru ini. Dewa Langit yang lama dirasakan telah terlalu jauh dari perhatian manusia; dan dewa-dewa yang lebih muda, seperti Baal, Marduk,dan Dewi Ibu telah datang mendekati manusia, tetapi Yahweh kembali membuka jurang pemisah antara alam manusia dan tuhan. Ini diperlihatkan dengan jelas dalam kisah di Gunung Sinai. Ketika tiba di gunung itu, orang-orang diperintahkan untuk menguduskan diri dan mencuci pakaian mereka. Musa bahkan hams memperingatkan orang-orang Israel: "Jagalah baik-baik, jangan kamu mendaki gunung itu atau kena kepada kakinya, sebab siapa pun yang kena kepada gunung itu, pastilah ia dihukum mati." Orang-orang berdiri agak jauh dari kaki gunung, lalu Yahweh turun ke atasnya dalam api dan kabut:
Pada hari ketiga, pada waktu terbit fajar, ada guruh dan kilat dan awan padat di atas gunung dan bunyi sangkakala yang sangat keras, sehingga gemetarlah seluruh bangsa yang ada di perkemahan. Lalu Musa membawa bangsa itu keluar dari perkemahan untuk menjumpai Allah dan berdirilah mereka pada kaki gunung. Gunung Sinai ditutupi seluruhnya dengan asap, karena TUHAN turun ke atasnya dalam api; asapnya membubung seperti asap dari dapur, dan seluruh gunung itu gemetar sangat.20
Musa pergi ke puncak gunung itu sendirian dan menerima Taurat. Bukannya mengalami keadaan yang tertib, harmoni, dan seimbang, seperti visi kaum pagan tentang pertemuan dengan Tuhan, Taurat kini diturunkan ke bumi dari sebuah ketinggian. Tuhan dalam sejarah dapat mengilhami perhatian yang lebih besar tentang dunia kasat, yang merupakan panggung bagi perbuatannya, tetapi ada pula potensi untuk terasing sepenuhnya dari dunia.

Dalam naskah akhir Kitab Keluaran, yang ditulis pada abad kelima SM, Tuhan dikatakan telah membuat perjanjian dengan Musa di Gunung Sinai (kejadian yang diperkirakan berlangsung sekitar 1200SM). Ada perdebatan ilmiah menyangkut hal ini: beberapa kritikus percaya bahwa perjanjian itu tidak dipandang penting di Israel hingga abad ketujuh SM. Akan tetapi, terlepas dari waktu kejadiannya, gagasan tentang adanya perjanjian itu mengatakan kepada kita bahwa pada saat itu orang Israel belum menjadi monoteis, karena perjanjian semacam itu hanya bermakna dalam latar politeistik. Orang Israel tidak percaya bahwa Yahweh, Tuhan Sinai, adalah satu-satunya tuhan, tetapi bersumpah, dalam perjanjian mereka, bahwa mereka akan mengabaikan semua tuhan lain dan hanya akan menyembah kepadanya saja. Sangat sulit menemukan sebuah pernyataan monoteistik dalam keseluruhan Pentateukh. Bahkan Sepuluh Perintah yang diwahyukan di Gunung menyiratkan penerimaan keberadaan tuhan-tuhan lain: "Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku."21

Menyembah satu tuhan merupakan langkah yang belum pernah ada sebelumnya: Firaun Mesir, Akhenaton, telah berupaya untuk menyembah Dewa Matahari saja dan mengabaikan ilah-ilah tradisional Mesir lainnya, tetapi kebijakannya segera dibalik oleh penerusnya. Mengabaikan sumber potensial mana dianggap sebagai tindakan yang jelas-jelas bodoh, dan sejarah Israel selanjutnya memperlihatkan bahwa mereka sangat enggan untuk meninggalkan kultus terhadap ilah-ilah lain. Yahweh telah membuktikan keunggulannya dalam perang, tetapi dia bukanlah dewa kesuburan. Ketika bermukim di Kanaan, orang Israel secara instingtif beralih memuja Baal, Penguasa Kanaan, yang telah membuat tumbuhnya tanam-tanaman sejak zaman yang tak mungkin lagi dapat diingat. Para nabi mengingatkan agar orang Israel tetap menepati janji, namun sebagian besar dari mereka terus menyembah Baal, Asyera, dan Anat dalam cara tradisional. Alkitab memang menyatakan kepada kita bahwa ketika Musa berada di Gunung Sinai, sebagian orang kembali kepada agama pagan kuno Kanaan. Mereka membuat patung sapi emas, gambaran tradisional Tuhan El, dan menyelenggarakan ritual kuno di hadapannya. Penempatan insiden ini dalam kesejajaran yang menyolok dengan pewahyuan di Gunung Sinai bisa merupakan upaya para editor Pentateukh untuk menunjukkan adanya perpecahan tajam di Israel. Nabi-nabi seperti Musa menyebarkan agama Yahweh yang mulia, tetapi kebanyakan orang Israel menginginkan ritus-ritus lama, dengan visi kesatuan holistik antara dewa-dewa, alam, dan manusia.

Sungguhpun demikian, orang Israel telah berjanji untuk menjadikan Yahweh satu-satunya tuhan mereka setelah pembebasan mereka dari Mesir, dan para nabi tentu akan kembali mengingatkan mereka akan perjanjian ini dalam beberapa tahun kemudian. Mereka telah berjanji untuk menyembah Yahweh saja sebagai elohim mereka, dan, sebagai imbalannya, Yahweh berjanji mereka akan dijadikan umat pilihannya yang akan menikmati perlindungan istimewa.Yahweh telah memperingatkan bahwa jika mereka melanggar perjanjian ini, dia akan menghancurkan mereka tanpa ampun. Bagaimanapun, orang Israel telah menerima perjanjian itu. Dalam kitabYosua kita temukan apa yang mungkin merupakan naskah awal mengenai penerimaan perjanjian antara Israel dan Tuhannya. Perjan­jian itu merupakan pakta formal yang sering digunakan dalam politik Timur Tengah untuk mempersatukan dua pihak. Susunannya sudah ditetapkan. Naskah perjanjian itu dimulai dengan memperkenalkan raja sebagai mitra yang lebih kuat dan kemudian akan melacak sejarah hubungan antara kedua belah pihak hingga masa sekarang. Pada bagian akhir, naskah itu menyebutkan ketetapan, syarat-syarat, dan hukuman yang akan diberlakukan jika sumpah setia diabaikan. Hal terpenting dalam seluruh perjanjian itu adalah tuntutan atas loyalitas mutlak. Dalam perjanjian abad keempat belas antara Raja Mursilis II dari Het dengan pengikutnya, Duppi Tashed, raja mengeluarkan tuntutan: "Jangan berpaling kepada orang lain. Ayah-ayah kalian telah membayar upeti di Mesir. Kalian tidak usah melakukan itu- Dengan sahabat-sahabatku kalian hams bersahabat dan dengan musuh-musuhku kalian harus bermusuhan." Alkitab mengatakan kepada kita bahwa ketika orang Israel telah tiba di Kanaan dan bergabung dengan puak mereka di sana, semua anak keturunan Abraham membuat sumpah setia kepada Yahweh. Upacara tersebut dipimpin oleh pengganti Musa, Yosua, untuk mewakili Yahweh. Perjanjian itu mengikuti pola tradisional. Yahweh diperkenalkan; pertemuannya dengan Abraham, Ishak, dan Yakub diceritakan kembali, dikisahkan pula tentang peristiwa Pembebasan. Akhirnya Yosua menetapkan syarat-syarat perjanjian dan menuntut penegasan formal orang Israel yang tengah berkumpul di tempat itu:

Oleh sebab itu, takutlah kepada TUHAN dan beribadahlah kepadanya dengan tulus ikhlas dan setia. Jauhkanlah allah yang kepadanya nenek moyangmu telah beribadah di seberang Sungai Efrat dan di Mesir, dan beribadahlah kepada TUHAN. Tetapi jika kamu anggap tidak baik untuk beribadah kepada TUHAN, pilihlah pada hari ini kepada siapa kamu akan beribadah; allah yang kepadanya nenek moyangmu beribadah di seberang Sungai Efrat, atau allah orang Amori yang negerinya kamu diami ini.22

Mereka mesti memilih antara Yahweh dan dewa-dewa tradisional Kanaan. Mereka tidak ragu-ragu. Tak ada allah lain seperti Yahweh; tidak ada tuhan lain yang lebih lekat di hati para penyembahnya. Campur tangannya yang kuat dalam persoalan-persoalan yang mereka hadapi telah membuktikan secara amat meyakinkan bahwa Yahweh memenuhi kewajiban sebagai elohim mereka: mereka akan menyembah dia semata dan meninggalkan tuhan-tuhan lain. Yosua memperingatkan mereka bahwa Yahweh sangat pencemburu. Jika mereka melanggar ketentuan dalam perjanjian itu, dia akan membinasakan mereka. Mereka mengambil sikap teguh: akan memilih Yahweh saja sebagai elohim mereka. "Maka sekarang, jauhkanlah allah asing yang ada di tengah-tengah kamu!" seru Yosua, "dan condongkanlah hatimu kepada TUHAN, Allah Israel!"23

Alkitab memperlihatkan bahwa orang-orang itu tidak menepati janji. Mereka hanya mengingatnya pada masa-masa perang, ketika mereka membutuhkan kepiawaian perlindungan militer Yahweh, tetapi di masa damai, mereka kembali menyembah Baal, Anat, dan Asyera dalam cara lama. Walaupun secara fundamental berbeda dalam bias historisnya, pemujaan kepada Yahweh sering terungkap dalam bentuk paganisme kuno. Ketika Raja Salomo (Nabi Sulaiman) mendirikan Kuil untuk Yahweh di Yerusalem— kota yang direbut ayahnya, Daud, dari Yebus— kuil itu ternyata mirip dengan kuil dewa-dewa Kanaan. Bangunan itu terdiri dari tiga ruang persegi empat, yang berpuncak pada ruang kecil berbentuk kubus yang disebut Bait Su-ci. Di dalam Bait Suci tersimpan Tabut Perjanjian, sebuah altar yang bisa dibawa-bawa yang selalu menyertai orang Israel pada saat me­reka berada di pengungsian. Di dalam Kuil terdapat bejana perunggu besar, merepresentasikan Yam, penguasa laut dalam mitos Kanaan, dan dua tiang tegak setinggi empat puluh kaki yang menandakan pemujaan kepada dewi kesuburan, Asyera. Orang Israel terus menyembah Yahweh di tempat-tempat suci kuno yang mereka warisi dari orang Kanaan di Betel, Silo, Hebron, Betlehem, dan Dan, yang sering menjadi tempat berlangsungnya upacara-upacara pagan. Kuil itu segera menjadi istimewa meskipun, seperti akan kita saksikan, di sana juga terdapat beberapa aktivitas yang jelas-jelas tidak ortodoks. Orang Israel mulai menganggap kuil itu sebagai replika istana Yahweh di langit. Mereka juga menyelenggarakan Festival Tahun Baru di musim gugur, dimulai dengan upacara pengurbanan di Hari Paskah, disusul oleh syukuran panen Hari Raya Pondok Daun, yang merayakan awal tahun tanam. Pernah diperkirakan bahwa sebagian dari mazmur merayakan penasbihan Yahweh di Kuilnya pada Hari Raya Pondok Daun, yang, seperti halnya penasbihan Marduk, mengingatkan tentang penaklukannya atas kekacauan.24  Raja Salomo sendiri adalah seorang sinkretis besar: dia punya banyak istri pagan, yang menyembah dewa-dewa mereka sendiri, dan tetap menjalin hubungan baik dengan tetangga-tetangga pagannya.

Selalu ada ancaman bahwa kultus Yahweh akhirnya akan tenggelam oleh paganisme populer. Hal ini menjadi semakin parah selama penggal terakhir abad kesembilan. Pada 869 SM, Raja Ahab naik ke tampuk pemerintahan Kerajaan Israel di utara. Istrinya, Izebel, anak perempuan Raja Tirus dan Sidon, wilayah yang sekarang disebut Lebanon, adalah seorang pagan yang kukuh dan berusaha agar masyarakat negeri itu menganut agama Baal dan Asyera. Izebel mengutus para rahib Baal, yang segera saja beroleh pengikut dari kalangan warga utara— orang-orang yang, selain pernah dikalahkan oleh Raja Daud, merupakan penganut Yahwis yang setengah hati. Ahab tetap setia kepada Yahweh, tetapi tidak mencoba membatasi dakwah Izebel. Namun, tatkala kekeringan melanda kawasan itu menjelang akhir pemerintahannya, seorang nabi bernama Elia (yang artinya: "Yahweh Allahku!") mulai mengembara ke seluruh pelosok negeri, berpakaian mantel bulu dan kain pinggang yang terbuat dari kulit. Dia mengecam ketidaksetiaan kepada Yahweh dan menantang Raja Ahab serta rakyat negeri itu untuk mempersaingkan Yahweh dengan Baal di Gunung Karmel. Di hadapan 450 nabi agama Baal, Elia berkata: Berapa lama lagi kalian berlaku timpang dan bercabang hati? Lalu dia minta diambilkan dua ekor lembu jantan, seekor untuk dirinya dan seekor lagi untuk para penyeru agama Baal. Kedua sapi itu akan diletakkan di atas dua buah altar. Mereka akan berdoa kepada tuhan masing-masing dan menyaksikan mana di antara keduanya yang mengirim api dari langit untuk menghanguskan apa yang dikurbankan. "Setuju!" teriak hadirin. Para nabi Baal memanggil namanya dari pagi sampai tengah hari, melakukan tarian memutari altar, bersorak, dan melukai diri sendiri dengan pedang dan lembing. Namun, "tidak ada suara, tidak ada yang menjawab." Elia mencemooh: "Panggillah lebih keras!" teriaknya, "bukankah dia allah? Mungkin ia merenung, mungkin ada urusannya, mungkin ia bepergian; barangkali ia tidur, dan belum terjaga." Tak ada yang terjadi: "Tidak ada suara, tidak ada yang men­jawab, tidak ada tanda perhatian."

Kini tiba giliran Elia. Orang-orang berkerumun mengelilingi altarYahweh ketika Elia menggali sebuah parit mengitari altar dan mengisinya dengan air untuk membuat api lebih sulit menyala. Kemudian Elia memanggil Yahweh. Sekonyong-konyong, tentu saja, api menyambar dari langit, menghanguskan altar dan lembu jantan, bahkan mengeringkan air di dalam parit. Orang-orang bersujud: "Yahweh adalah Tuhan," teriak mereka, "Yahweh adalah Tuhan." Namun Elia bukanlah pemenang yang ramah. "Tangkap nabi-nabi Baal," titahnya. Tak seorang pun dikecualikan: dia giring mereka kelembah terdekat dan menyembelih mereka di sana.25

Paganisme biasanya tidak memaksakan dirinya kepada orang lain—Izebel adalah pengecualian yang menarik—sebab senantiasa tersedia ruang bagi tuhan lain di kuil bersama yang sudah ada. Peristiwa-peristiwa mitos kuno ini memperlihatkan bahwa sejak awal Yahwisme menghendaki tekanan keras dan penyangkalan terhadap kepercayaan lain, sebuah fenomena yang akan kita analisis secara lebih terperinci dalam bab berikutnya. Setelah pembunuhan itu, Elia mendaki ke puncak Gunung Karmel dan duduk berdoa dengan kepala tertunduk di antara kedua lututnya, memerintahkan pelayannya untuk mengamati ke arah laut. Akhirnya dia menyampaikan berita tentang segumpal awan—kira-kira seukuran telapak tangan seorang laki-laki—yang timbul dari laut. Elia memerintahkannya pergi untuk memperingatkan Raja Ahab agar segera kembali pulang sebelum hujan mencegahnya. Nyaris berbarengan dengan saat dia mengucapkan itu, langit menggelap karena awan mendung menyelimutinya dan hujan turun sangat deras. Elia bersegera mengikat pinggangnya dan berlari mendahului kencana Ahab. Dengan mengirim hujan,Yahweh telah menyerap fungsi Baal, dewa badai, untuk membuktikan bahwa dia sama efektifnya dalam soal kesuburan maupun perang.

Khawatir akan akibat dari tindakannya melakukan pembunuhan terhadap nabi-nabi Baal, Elia mengundurkan diri ke Semenanjung Sinai dan berlindung di pegunungan tempat Tuhan menampakkan dirinya kepada Musa. Di sana dia mengalami teofani yang memanifestasikan spiritualitas baru bagi para pengikut Yahweh. Dia diperintahkan berdiri di celah sebuah batu besar untuk melindungi dirinya dari pengaruh yang suci:
Maka TUHAN lalu! Angin besar dan kuat, yang membelah gunung-gunung dan memecah bukit-bukit batu, mendahului TUHAN. Tetapi tak ada TUHAN dalam angin itu. Dan sesudah angin itu datanglah gempa. Tetapi tidak ada TUHAN dalam gempa itu. Dan sesudah gempa itu datanglah api. Tetapi tidak ada TUHAN dalam api itu. Dan sesudah api itu datanglah bunyi angin sepoi-sepoi biasa. Segera sesudah Elia mendengarnya, ia menyelubungi mukanya dengan jubahnya.26
Tidak seperti dewa-dewa pagan, Yahweh tidak berada dalam kekuatan alam apa pun, tetapi dia ada di dalam alam yang lain. Dia dialami dalam semilir angin yang nyaris tak terasa, dalam paradoks keheningan yang riuh.

Kisah Elia mengandung cerita mitos terakhir dari masa silam dalam kitab suci Yahudi. Perubahan sedang bergaung di angkasa sepanjang masa Oikumene itu. Periode 800-200 SM disebut sebagai Zaman Kapak. Di semua kawasan utama dunia berperadaban, orang-orang menciptakan ideologi baru yang menjadi semakin penting dan menentukan. Sistem-sistem keagamaan baru mencerminkan kondisi sosial ekonomi yang telah berubah. Untuk beberapa alasan yang tak bisa sepenuhnya kita pahami, semua induk peradaban berkembang menurut garis yang paralel, bahkan ketika tidak terdapat hubungan dagang di antaranya (misalnya antara kawasan Cina dan Eropa). Ada kemakmuran baru yang membawa pada lahirnya kelas pedagang. Kekuasaan bergeser dari raja dan rahib, kuil dan istana,ke bursa perdagangan. Kemakmuran baru membawa kemajuan intelektual dan kultural selain juga menimbulkan perkembangan kesadaran individual. Ketidakadilan dan eksploitasi menjadi lebih jelas selaras dengan perubahan pesat yang terjadi di kota-kota. Orang-orang mulai menyadari bahwa perilaku mereka sendiri dapat berpengaruh terhadap nasib generasi berikutnya. Masing-masing kawasan mengembangkan ideologi yang berbeda untuk menghadapi persoalan dan keprihatinan ini: Taoisme dan Konfusianisme di Cina, Hinduisme dan Buddhisme di India, dan rasionalisme filosofis di Eropa. Timur Tengah tidak menghasilkan solusi yang seragam, tetapi di Iran dan Israel, nabi-nabi Zoroaster dan Ibrani secara sendiri-sendiri mengem­bangkan versi monotesime yang berbeda. Anehnya, gagasan tentang "Tuhan", seperti halnya wawasan besar keagamaan lain pada masa itu, berkembang dalam ekonomi pasar dengan semangat kapitalisme agresif.

Saya ingin meninjau secara singkat dua perubahan baru ini sebelum melanjutkan pembahasan tentang agama Yahweh yang diperbarui pada bab berikutnya. Pengalaman keagamaan India berkembang menurut garis yang mirip, namun perbedaan penekanannya akan menampakkan karakter dan persoalan khas pandangan ketuhanan orang Israel. Rasionalisme Plato dan Aristoteles juga penting karena orang Yahudi, Kristen, dan Muslim dipengaruhi pemikiran keduanya dan mereka berupaya mengadaptasikannya ke dalam pengalaman keagamaan mereka sendiri, meskipun konsep TuhanYunani jelas-jelas berbeda dengan konsep yang mereka miliki.

Pada abad ketujuh belas SM, orang Aria dari wilayah yang sekarang disebut Iran, menginvasi lembah Indus dan menaklukkan penduduk aslinya. Mereka mendesakkan ajaran-ajaran agama mereka, seperti dapat kita lihat terekspresikan dalam kumpulan syair pujian yang kemudian dikenal sebagai Rig Veda. Di sana kita menjumpai konsep tentang banyak tuhan, mengekspresikan banyak nilai yang sama dengan konsep ketuhanan Timur Tengah dan menghadirkan kekuatan alam sebagai insting yang memiliki daya, kehidupan, dan kepribadian. Namun demikian, tetap ada tanda-tanda bahwa orang mulai melihat tuhan-tuhan yang beraneka ragam itu sebenarnya merupakan manifestasi dari satu ketuhanan Absolut yang mentransendensi semuanya. Sebagaimana orang Babilonia, orang Aria cukup menyadari bahwa mitos-mitos mereka bukanlah kisah faktual tentang realitas, melainkan ungkapan misteri yang bahkan para dewa sendiri tidak dapat menjelaskannya secara memadai. Tatkala mereka mencoba membayangkan bagaimana para dewa dan dunia berevolusi dari kekacauan primal, mereka menyimpulkan bahwa tak seorang pun—bahkan tidak juga para dewa—bisa memahami misteri eksistensi:

Maka, siapa yang tahu kapan ia terbit Kapan emanasi ini terjadi, Apakah Tuhan yang melepaskannya, atau bukan,—Hanya dia yang mampu menerawang ke langit tertinggi yang akan tahu, Atau mungkin dia tidak tahu!27
Agama yang diajarkan Weda tidak berupaya menjelaskan asal usul kehidupan atau memberi jawaban istimewa terhadap pertanyaan-pertanyaan filosofis. Alih-alih, ia memang telah dirancang untuk membantu manusia memahami kehebatan dan kedahsyatan eksisten­si. Ia justru lebih banyak mengemukakan pertanyaan daripada menjawabnya, dengan maksud agar manusia tetap berada dalam sikap takzim.

Pada abad kedelapan SM, ketika J dan E menuliskan kronik mereka, perubahan kondisi sosial dan ekonomi di Anak Benua India sedang menjadikan Weda tidak lagi relevan. Gagasan para penduduk asli, yang telah tertindas selama beberapa abad setelah invasi orang Aria, kembali muncul ke permukaan dan membawa pada kehausan baru akan agama. Bangkitnya perhatian terhadap karma, paham bahwa nasib seseorang ditentukan oleh perbuatannya sendiri, membuat orang-orang tidak mau menyalahkan para dewa atas perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab. Semakin kuat kecenderungan untuk memandang para dewa sebagai simbol ketunggalan Realitas transenden. Ajaran Weda sarat dengan ritual pengurbanan, namun bangkitnya ketertarikan kepada praktik India kuno "Yoga" ("pengekangan" daya pikir melalui disiplin konsentrasi khusus) bermakna bahwa orang-orang menjadi tidak puas terhadap suatu agama yang hanya memusatkan perhatian kepada aspek-aspek ekgternal. Pe­ngurbanan dan liturgi tidaklah memadai: mereka ingin menemukan makna batin ritus-ritus ini. Kita akan melihat bahwa nabi-nabi Israel merasakan ketidak puasan yang sama. Di India, dewa-dewa tidak lagi dipandang sebagai wujud lain yang berada di luar para penyembahnya; justru manusia yang berusaha memperoleh realisasi kebenaran batiniah.

Dewa-dewa tidak lagi penting di India. Selanjutnya mereka digantikan oleh pemuka agama, yang akan dipandang lebih tinggi daripada para dewa. Ini merupakan penegasan kuat tentang nilai kemanusiaan dan keinginan untuk mengendalikan nasib: ini akan menjadi pandangan keagamaan terbesar di anak benua itu. Agama baru Hinduisme dan Buddhisme tidak menyangkal eksistensi para dewa, atau melarang orang untuk menyembahnya. Dalam pandangan mereka, hambatan dan penyangkalan semacam itu akan merusak. Sebagai gantinya, orang Hindu dan Buddha mencari cara baru untuk mentransendensikan para dewa, untuk melampaui mereka. Selama abad kedelapan, para pemuka agama mulai mengetengahkan isu-isu ini dalam risalah yang disebut Aranyakas dan Upanishads, yang secara kolektif dikenal sebagai Vedanta-. penutup Weda. Upanishads terus-menerus muncul sehingga pada akhir abad kelima SM, telah terkumpul sebanyak dua ratus buah. Tidak mungkin melakukan generalisasi terhadap agama yang kita sebut Hinduisme karena ia mengelak dari sistem dan menolak kemungkinan bahwa satu tafsiran eksklusif bisa dianggap memadai. Namun, Upanishads telah mengembangkan sebuah konsepsi ketuhanan khas yang melampaui dewa-dewa tetapi hadir secara begitu dekat di dalam segala sesuatu.

Dalam ajaran Weda, orang mengalami kekuatan suci dalam ritual pengurbanan. Mereka menyebut kekuatan suci ini Brahman. Kastapara rahib (disebut dengan istilah Brahmana) juga diyakini mempunyai kekuatan ini. Karena ritual pengurbanan dipandang sebagai mikro-kosmos alam semesta, Brahman lambat laun diartikan sebagai sebuah kekuatan yang menyangga segala sesuatu. Seluruh dunia dipandang sebagai aktivitas ilahi yang menyeruak dari wujud misterius Brahman, yang merupakan makna batin seluruh eksistensi. Upanishads mendorong orang untuk menumbuhkan rasa kehadiran Brahman di dalam segala sesuatu. Ini adalah proses pewahyuan dalam makna harfiahnya: pengungkapan dasar tersembunyi dari seluruh wujud. Segala sesuatu yang terjadi merupakan manifestasi Brahman: pandangan yang benar terletak dalam persepsi kesatuan di balik fenomena yang berbeda. Sebagian Upanishads melihat Brahman sebagai kekuatan pribadi, tetapi sebagian lain melihatnya betul-betul impersonal. Brahman tidak dapat dipanggil dengan kata "engkau"; ini adalah istilah yang netral, bukan laki-laki atau perempuan, bukan pula dia dialami sebagai kehendak ilah yang berdaulat. Brahman tidak berbicara kepada manusia. Dia tak dapat bertemu dengan lelaki atau perempuan; dia berada di atas segala aktivitas manusia. Dia juga tidak menanggapi kita dengan secara personal; dosa tidak membuatnya "marah", dan dia tidak dapat dikatakan "mencintai" atau "membenci" kita. Bersyukur atau memujinya karena telah menciptakan dunia sama sekali tidak tepat.

Kekuatan ilahiah ini akan betul-betul terasing dari kita seandainya tidak ada fakta bahwa ia melingkupi, menyokong, dan mengilhami kita. Teknik-teknik Yoga telah membuat orang sadar tentang dunia batin. Disiplin pengaturan postur, cara bernapas, makanan, dan konsentrasi mental ini juga telah berkembang secara mandiri dalam kebudayaan lain, seperti akan kita lihat nanti, dan tampaknya menghasilkan pencerahan serta iluminasi yang telah ditafsirkan secara berbeda-beda, namun alamiah bagi kemanusiaan. Upanishads mengklaim bahwa pengalaman mengenai dimensi baru dari diri ini merupa­kan kekuatan suci yang sama dengan yang melingkupi seluruh alam. Prinsip abadi yang ada dalam setiap individu disebut Atman: ini merupakan versi baru visi holistik paganisme kuno, penemuan kembali dalam terma baru Satu Kehidupan yang ada di dalam dan di luar diri kita yang pada dasarnya bersifat sakral. Chandogya Upanishads menjelaskan hal ini melalui analogi tentang garam. Seorang pemuda bernama Sretaketu telah mempelajari Weda selama dua belas tahun dan merasa telah cukup menguasainya. Ayahnya, Uddalaka, mengajukan sebuah pertanyaan yang tak bisa dijawabnya. Kemudian ayahnya mengajarkan tentang kebenaran fundamental yang sama sekali belum diketahuinya. Dia memerintahkan anaknya untuk meletakkan sepotong garam di dalam air dan melaporkan hasilnya pada pagi hari berikutnya. Ketika sang ayah memintanya untuk mengambil garam itu, Sretaketu tidak dapat menemukannya karena garam itu telah larut semuanya. Uddalaka mulai bertanya:

"Maukah engkau mencicipi bagian ini? Seperti apa rasanya?" katanya.
"Garam."
"Cicipilah bagian tengahnya. Seperti apa?"
"Garam."
"Cicipilah bagian ujungnya. Seperti apa?"
"Garam."
"Buanglah itu dan mendekatlah kepadaku."
Sretaketu melakukan apa yang diperintahkan, namun [itu tidak membuat garam] menjadi berubah.
[Ayahnya berkata]: "Anakku, memang benar bahwa engkau tidak bisa melihat Wujud ada di sini, namun wujud itu benar-benar ada di sini.
Esensi pertama ini—dimiliki alam semesta sebagai Dirinya: Itulah yang Nyata: Itulah Diri: itulah engkau, Sretaketu!"

Jadi, meskipun kita tidak dapat melihatnya, Brahman melingkupi dunia dan, sebagaimana Atman, abadi dalam diri setiap kita.28 Atman mencegah pemberhalaan Tuhan, menjadi Realitas eksterior "di luar sana", proyeksi ketakutan dan keinginan kita sendiri. Dalam Hinduisme, Tuhan tidak dilihat sebagai sebuah Wujud yang ditambahkan ke dunia seperti yang kita ketahui, karena itu tidak pula identik dengan dunia. Tak bisa kita memahami ini melalui akal semata. Pemahaman ini "diwahyukan" kepada kita melalui pengalaman (anubhara) yang tidak dapat diungkapkan dalam kata-kata atau konsep. Brahman adalah "Apa yang tidak bisa diucapkan dalam kata-kata, tetapi sesuatu yang dengannya kata-kata diucapkan ...

Apa yang tak bisa dipikirkan oleh akal, tetapi sesuatu yang dengannya akal berpikir."29 Mustahil untuk berbicara kepada Tuhan yang semelekat ini atau berpikir mengenai dia, menjadikannya objek pikiran semata. la adalah Realitas yang hanya bisa dicerna dalam puncak perasaan orisinal yang melampaui kesadaran diri:
Tuhan datang kepada pikiran orang-orang yang mengenai Dia melampaui pikiran, bukan kepada mereka yang membayangkan Dia bisa diraih oleh pikiran. Dia tidak dikenal oleh kaum cendekia dan dikenal oleh orang sederhana. Dia dikenal di dalam puncak keterjagaan yang membukakan pintu kehidupan abadi.30 
Sebagaimana terhadap dewa-dewa, nalar tidak disangkal tetapi dilampaui. Pengalaman tentang Brahman atau Atman tidak dapat dijelaskan secara rasional, seperti halnya sepenggal musik atau syair. Akal mutlak diperlukan untuk menciptakan karya seni semacam itu dan mengapresiasinya, tetapi ia menawarkan sebuah pengalaman yang melampaui daya otak atau akal murni. Ini juga akan menjadi tema konstan dalam sejarah Tuhan. Cita-cita transendensi personal juga bersemayam di dalam diri Yogi, orang yang meninggalkan keluarganya dan melepaskan diri dari keterkaitan dan tanggung jawab sosial demi mencari pencerahan, meletakkan dirinya di dalam realitas wujud yang lain. Sekitar 538 SM, seorang pemuda bernama Siddharta Gautama juga meninggalkan istrinya yang cantik, putranya, rumahnya yang mewah di Kapilawastu, kira-kira100 mil ke arah utara Benares, dan menjadi seorang petapa sederhana. Dia terhenyak melihat penderitaan manusia dan bermaksud menemukan rahasia untuk mengakhiri nestapa yang dilihatnya ada dalam segala sesuatu di sekelilingnya. Selama enam tahun, dia duduk di kaki para guru spiritual Hindu dan menjalani tirakat penyangkalan diri yang berat, tetapi tidak banyak membuat kemajuan. Ajaran para guru itu tidak menarik hatinya, dan penyiksaan diri hanya membuatnya lemah. Baru setelah meninggalkan metode-metode ini sama sekali dan mengalami ketidak sadaran pada suatu malam dia pun mendapatkan pencerahan. Seluruh kosmos bersorak, bumi berguncang, bunga-bunga bertebaran dari langit, angin semerbak berhembus, dan para dewa dari berbagai tingkatan langit bersuka ria. Kembali, seperti dalam visi pagan, para dewa, alam, dan manusia bersatu dalam simpati. Ada harapan baru untuk membebaskan diri dari penderitaan dan mendapatkan nirvana, akhir semua nestapa. Gautama telah menjadi Buddha, Yang Tercerahkan. Pada mulanya, setan Mara menggodanya untuk tetap berada di tempat itu dan menikmati anugerah yang baru didapatkannya: tak ada gunanya upaya menyebarkan berita itu karena tak seorang pun akan mempercayainya. Namun, dua dewa dari kuil tradisional—Maha Brahma dan Sakra, Tuan para devas—datang menemui Buddha dan memintanya untuk menjelaskan metodenya kepada dunia. Buddha setuju dan selama empat puluh tahun ke depan, dia mengembara ke pelosok India untuk menyampaikan pesannya: dalam dunia yang penuh derita ini, hanya satu yang tidak berubah. Itulah Dharma, cara hidup yangbenar, satu-satunya yang bisa membebaskan kita dari penderitaan.

Ini tak ada hubungannya dengan Tuhan. Secara implisit, Buddha mempercayai eksistensi dewa-dewa sebab mereka merupakan bagian dari latar kulturalnya, namun dia tidak percaya bahwa mereka bermanfaat banyak bagi manusia. Mereka pun terikat dalam realitas penderita­an dan perubahan; mereka tidak membantunya meraih pencerahan; mereka terlibat dalam siklus kelahiran kembali sebagaimana makhluk lain, dan akhirnya mereka juga akan sirna. Akan tetapi, pada saat yang krusial dalam kehidupannya—seperti ketika dia memutuskan untuk menyebarkan pesannya—dia membayangkan para dewa mempengaruhinya dan memainkan peran aktif. Oleh karena itu, Buddha tidak menyangkal dewa-dewa, tetapi percaya bahwa Realitas tertinggi nirvana lebih luhur daripada para dewa. Ketika orang Buddha mengalami kedamaian atau rasa transendensi dalam meditasi, mereka tidak mempercayai bahwa itu berasal dari hubungan dengan wujud yang supranatural. Keadaan seperti itu alamiah bagi kemanusiaan: bisa dicapai oleh setiap orang yang hidup dengan cara yang benar dan mempelajari teknik Yoga. Oleh sebab itu, alih-alih bersandar kepada suatu dewa, Buddha mengajak murid-muridnya untuk menyelamatkan diri mereka sendiri.

Ketika bertemu murid pertamanya di Benares setelah peristiwapencerahannya, Buddha memaparkan sistemnya yang didasari olehsatu fakta esensial: seluruh eksistensi adalah dukkha. Semuanya terdiridari penderitaan: seluruh kehidupan adalah suram. Segalanya datangdan pergi dalam perubahan tak bermakna. Tak ada yang mempunyaiarti penting yang permanen. Agama dimulai dengan persepsi bahwaada sesuatu yang salah. Di masa pagan kuno, ada mitos tentangdunia arketipal suci, yang bersesuaian dengan dunia kita dan bisa menanamkan kekuatannya kepada manusia. Buddha mengajarkanbahwa adalah mungkin untuk melepaskan din dan dukkha melaluicara hidup yang penyayang terhadap sesama makhluk, berbicaradan bertindak lemah lembut, ramah, dan benar, serta menjauhkandiri dari segala obat-obatan atau bahan memabukkan yang bisamengaburkan pikiran. Buddha tidak mengklaim telah menciptakansistem ini. Dia bersikeras bahwa dia hanya "memperoleh" saja: "Akutelah melihat ajaran kuno, sebuah Jalan kuno, yang ditelusuri Buddhadari zaman yang lalu."3

Seperti undang-undang paganisme, Buddhisme juga dibatasi olehstruktur eksistensi dasar, yang melekat dalam kondisi kehidupan itu sendiri. la mempunyai realitas objektif bukan karena ia dapat diperlihatkan melalui bukti logis, melainkan karena setiap orang yang secara serius berusaha untuk hidup dengan cara itu akan menemukan bahwa sistem itu ternyata efektif. Keefektifannya, bukan bukti filosofis atau historis, selalu menjadi ciri khas agama yang berhasil. Selama berabad-abad orang Buddha di banyak belahan bumi telah merasakan bahwa gaya hidup ini menghasilkan pengertian tentang makna transendensi. Karma mengikat manusia kepada lingkaran kebangkitan kembali tak berujung dalam rangkaian kehidupan yang sarat derita. Namun jika mereka mampu mengubah perilaku egois mereka, mereka akan mampu mengubah nasib. Buddha membandingkan proses kelahiran kembali ini dengan api yang menyulut sebuah lampu, yang dari nyanyala api lampu kedua berasal, demikian seterusnya hingga nyala itu padam. Jika seseorang masih menyala dengan dosanya pada saat dia mati, maka dia akan menyulut lampu yang lain. Akan tetapi, jika api itu dipadamkan, lingkaran penderitaan akan berhenti dan nirvana akan diperoleh. "Nirvana" secara harfiah berarti "padam" atau "usai". Ini bukan semata-mata sebuah keadaan negatif. Di kalangan orang Buddha, ia justru memainkan peran yang sebanding dengan Tuhan. Seperti dijelaskan Edward Conze dalam Buddhism: its Essence and Development, kaum Buddhis sering menggunakan penggambaran teistik untuk menjelaskan nirvana, realitas tertinggi:
Kami diajarkan bahwa nirvana itu permanen, stabil, abadi, diam, taklapuk oleh usia, tak pernah mati, tidak dilahirkan, dan tidak diciptakan, bahwa ia adalah kekuatan, anugerah, dan kebahagiaan, perlindungan yang aman, tempat berteduh, dan tempat dengan rasa aman yang tak terpunahkan; bahwa ia adalah Kebenaran sejati dan Realitas tertinggi; bahwa ia adalah kebaikan, tujuan puncak, dan satu-satunya dambaan kehidupan kita, kedamaian yang abadi, terselubung, dan tak terpahami.32 
Beberapa penganut Buddha mungkin berkeberatan atas pembandingan ini karena mereka merasa konsep tentang "Tuhan" begitu terbatas untuk dapat menuangkan konsepsi mereka tentang realitas tertinggi. Umumnya hal ini disebabkan karena kaum teistik menggunakan kata "Tuhan" secara terbatas untuk merujuk kepada wujud yang terlalu berbeda dari kita. Sebagaimana para guru Upanishads, Buddha mengajarkan bahwa nirvana tidak bisa didefinisikan atau didiskusikan seakan-akan ia berbeda dari realitas manusia. Mencapai nirvana tidak sama dengan "naik ke langit" seperti yang sering dipahami orang Kristen. Buddha selalu menolak untuk menjawab pertanyaan tentang nirvana atau tentang hal-hal luhur lainnya karena pertanyaan semacam itu "tidak layak" dan "tidak pantas". Kita tidak bisa mendefinisikan nirvana karena kata-kata dan konsep kita terbelenggu oleh dunia indriawi dan perubahan. Pengalaman adalah satu-satunya "bukti" yang terandalkan. Murid-muridnya akan mengetahui bahwa nirvana ada hanya karena latihan mereka menjalani kehidupan yang baik akan memampukan mereka melihatnya.
Wahai para rahib, ada yang tak dilahirkan, tak menjadi, tak diciptakan, tak tersusun. Jika, wahai para rahib, tidak ada yang tak dilahirkan, tak menjadi, tak diciptakan, dan tak tersusun ini, maka tentu tak akan ada jalan keluar bagi yang dilahirkan, yang menjadi, yang diciptakan, yang tersusun. Tetapi karena ada yang tak dilahirkan, yang tak menjadi, yang tak diciptakan, dan yang tak tersusun, maka ada jalan keluar bagi yang dilahirkan, yang menjadi, yang diciptakan, dan yang tersusun.33
Para rahibnya tidak boleh berspekulasi tentang hakikat nirvana.Yang dapat dilakukan Buddha hanyalah menyediakan bagi mereka rakit yang akan membawa mereka menyeberang ke "pantai yang lebih jauh". Ketika ditanya apakah seorang Buddha yang telah men­capai nirvana tetap hidup setelah mati, dia mengabaikan pertanyaan ini karena menganggapnya "tidak layak". Sama tidak layaknya seperti menanyakan ke mana perginya api setelah ia "padam". Sama kelirunya mengatakan bahwa seorang Buddha yang hidup dalam nirvana berarti tidak ada: kata "ada" tidak berhubungan dengan keadaan apa pun yang bisa kita pahami. Kita akan menemukan bahwa selama berabad-abad, orang Yahudi, Kristen, dan Muslim telah memberikan jawaban yang sama terhadap pertanyaan tentang "keberadaan" Tuhan. Buddha berusaha memperlihatkan bahwa bahasa tidak mampu membahas realitas yang berada di luar jangkauan konsep dan akal. Lagi-lagi, dia tidak menolak akal tetapi menekankan arti penting pemikiran yang jernih serta akurat dan penggunaan bahasa. Namun akhirnya, dia berpendapat bahwa teologi atau kepercayaan seseorang, sepertiritual yang dijalaninya, tidaklah penting. Hal-hal seperti itu memang menarik, tetapi tidak punya arti final. Satu-satunya yang berharga adalah hidup dengan cara yang baik; jika ini diupayakan, penganut Buddha akan menemukan bahwa Dharma itu benar, meskipun mereka tidak bisa menyampaikannya dalam ungkapan yang logis.

Di sisi lain, orang-orang Yunani amat tertarik kepada logika dan nalar. Plato (kl.428-348 SM) selalu menyibukkan diri mengkaji persoalan-persoalan epistemologi dan hakikat kebijaksanaan. Banyak karya awalnya ditujukan sebagai upaya membela Sokrates, yang mendesak orang untuk memperjelas gagasan mereka lewat pertanyaan-pertanyaan kritis yang diajukannya. Akan tetapi, Sokrates dihukum mati pada 399 SM dengan tuduhan merusak para pemuda dan murtad. Dalam cara yang tidak berbeda dengan yang ditempuh orang India, Plato kecewa terhadap upacara-upacara kuno dan mitos-mitos agama yang menurutnya merendahkan dan tidak layak. Plato agasan dari India, yang menyebar melalui Persia dan Mesir. Dia juga percaya bahwa jiwa adalah bagian zat ilahi yang terjatuh, tercemar, dan terperangkap dalam tubuh seperti dalam sebuah kuburan dan terhukum untuk menjalani siklus kelahiran kembali yang tiada habisnya. Dia telah menyuarakan pengalaman semua manusia tentang rasa keterasingan di dunia yang tampaknya bukan merupakan unsur sejati kita. Phytagoras mengajarkan bahwa jiwa bisa dibebaskan melalui penyucian ritual, yang akan memampukan manusia mencapai harmoni dengan semesta yang teratur. Plato juga meyakini eksistensi realitas suci dan tak berubah yang melampaui dunia indriawi, bahwa jiwa adalah sepenggal keilahian, unsur yang terlepas darinya, terpenjara dalam tubuh tetapi mampu meraih kembali status keilahiannya dengan cara penyucian daya nalar pikiran. Dalam mitos gua yang populer, Plato melukiskan kegelapan dan keburaman kehidupan manusia di bumi: manusia hanya mampu melihat bayang-bayang realitas abadi yang terpantul di dinding gua. Namun, lambat laun manusia mampu keluar lalu mencapai pencerahan dan pembebasan dengan melatih pikirannya memperoleh cahaya ilahi.

Pada akhir hayatnya, Plato mungkin telah meninggalkan doktrinnya tentang bentuk-bentuk atau ide-ide abadi, tetapi gagasan ini justru menjadi krusial bagi banyak monoteis ketika mereka berupaya mengungkapkan konsepsi ketuhanan mereka. Ide merupakan realitas stabil dan konstan yang bisa dipahami oleh kekuatan nalar, juga merupakan realitas yang lebih utuh, permanen, dan efektif dibandingkan fenomena material yang lemah dan selalu berubah yang kita capai lewat indra. Segala yang ada di dunia ini hanyalah pantulan, "bagian" atau "tiruan" dari bentuk-bentuk abadi di wilayah ilahi. Ada ide yang selalu bersesuaian dengan setiap konsepsi umum yang kita miliki, seperti Cinta, Keadilan, dan Keindahan. Akan tetapi, yang paling tinggi di antara semua bentuk adalah ide tentang Kebaikan. Dengan demikian, Plato telah memberi kerangka filosofis bagi mitos kuno tentang dunia arketipal. Gagasannya tentang keabadian dapat dilihat sebagai versi rasional dari alam suci mitis, yang di dalamnya hal-hal jasadiah menjadi bayang-bayang semata. Dia tidak membahas hakikat Tuhan, tetapi membatasi diri pada alam suci bentuk-bentuk, meski terkadang tampak bahwa Keindahan atau Kebaikan ideal tidak mewakili suatu realitas puncak. Plato yakin bahwa alam ilahiah itu statis dan tak berubah. Orang Yunani memandang gerak dan perubahan sebagai ciri realitas inferior: sesuatu yang memiliki identitas sejati selalu sama, dicirikan oleh ketetapan dan ketakberubahan. Dengan demikian, gerak yang paling sempurna adalah gerak melingkar karena ia terus-menerus berputar dan kembali ke posisi asalnya: gerak melingkar benda-benda langit meniru gerakan alam ilahiah dengan sebaik mungkin. Citra statis alam ilahiah ini akan berpengaruh sangat besar terhadap orang Yahudi, Kristen, dan Muslim, walaupun hal itu sangat berbeda dengan Tuhan pemberi wahyu, yang selalu aktif, inovatif dan, di dalam Alkitab, bahkan berubah pikiran ketika dia menyesal telah menciptakan manusia dan memutuskan untuk memunahkan ras manusia dalam peristiwa Air Bah.

Ada aspek mistik Plato yang sangat menyenangkan hati kaum monoteis. Bentuk-bentuk suci Plato bukanlah realitas yang ada "diluar sana", melainkan bisa dijumpai di dalam din. Dalam dialog dramatiknya, Symposium, Plato memperlihatkan betapa kecintaan pada tubuh yang cantik bisa disucikan dan ditransformasikan menjadi kontemplasi ekstatik (theoria) tentang Keindahan ideal. Dalam naskah itu dia membuat Diotima, mentor Sokrates, berbicara bahwa Keindah­an adalah unik, abadi, dan mutlak, tidak sama dengan apa pun yang pernah kita alami di dunia ini:
Keindahan ini pertama-tama adalah abadi; ia tidak pernah diwujudkan maupun dimatikan; tak mengalami pasang surut; kemudian ia bukan indah sebagian dan jelek sebagian, bukan indah pada satu saat dan jelek pada saat lain, bukan indah dalam kaitannya dengan hal ini dan jelek dengan hal itu, tidak beraneka menurut keragaman pemerhatinya; tidak pula keindahan ini akan tampil di dalam imajinasi seperti kecantikan seraut wajah atau tangan atau sesuatu yang bersifat jasadiah, atau seperti keindahan sebuah pemikiran atau ilmu pengetahuan, atau seperti keindahan yang bersemayam di dalam sesuatu di luar dirinya sendiri, apakah itu makhluk hidup atau bumi atau langit atau apa pun lainnya; dia akan melihatnya sebagai yang absolut, ada sendirian didalam dirinya, unik, abadi.34
Pendek kata, gagasannya tentang Keindahan memiliki banyak kesamaan dengan apa yang oleh kaum teistik disebut "Tuhan". Meski sedemikian transenden, ide-ide seperti ini dapat dijumpai dalam pikiran manusia. Dalam era modern, kita memandang berpikir sebagai sebuah aktivitas, sebagai sesuatu yang kita kerjakan. Plato menganggapnya sebagai sesuatu yang terjadi pada akal: objek-objek pikiran merupakan realitas yang aktif di dalam akal manusia yang merenungkannya. Seperti Sokrates, dia memandang pemikiran sebagai proses mengingat kembali (recollection), pemahaman sesuatu yang pernah kita ketahui, namun telah terlupa. Karena manusia merupakan kesucian yang tercampak, bentuk-bentuk alam ilahiah ada dalam diri mereka dan bisa "disentuh" oleh nalar, yang bukan sekadar aktivitas rasional atau otak melainkan sebuah serapan intuitif akan realitas abadi yang ada dalam diri kita. Gagasan ini akan sangat berpengaruh terhadap kaum mistik dalam ketiga agama monoteis.

Plato percaya bahwa alam semesta pada dasarnya rasional. Ini adalah mitos atau konsepsi imajiner lain tentang realitas. Aristoteles (384-322 SM) mengambil langkah lebih jauh. Dia adalah orang pertama yang mengapresiasi arti penting penalaran logis, basis semua ilmu pengetahuan, dan yakin bahwa adalah mungkin bagi kita untuk mencapai pengertian tentang alam semesta dengan cara menerapkan metode ini. Selain mengupayakan pemahaman teoretis tentang kebenaran dalam empat belas risalah yang dikenal sebagai Meta­physics (istilah yang diciptakan oleh editornya, yang menempatkan urutan risalah ini "sesudah Physics": meta ta physika), dia juga mempelajari fisika teoretis dan biologi empiris. Meskipun demikian, dia memiliki kesantunan intelektual yang besar, bersikeras bahwatak seorang pun mampu mencapai konsepsi yang memadai tentang kebenaran, tetapi setiap orang bisa memberikan sumbangsih kecil terhadap pemahaman kolektif manusia. Banyak kontroversi mengenai penilaiannya terhadap karya Plato. Dia tampaknya secara tempera­ mental menentang pandangan Plato mengenai transendensi bentuk-bentuk, menolak gagasan bahwa bentuk-bentuk itu mempunyai eksistensi pendahulu yang independen. Aristoteles berpendapat bahwa bentuk-bentuk itu hanya memiliki realitas sebagaimana keberadaan-nya di dunia material konkret kita ini.

Meski pendekatannya begitu membumi dan perhatiannya besar kepada fakta ilmiah, Aristoteles memiliki pemahaman yang tajam tentang hakikat dan arti penting agama dan mitologi. Dia mengemukakan bahwa orang-orang yang terlibat dalam berbagai misteri agama tidak perlu mempelajari fakta apa pun "kecuali mengalami emosidan disposisi tertentu."35 Inilah dasar dari teori sastranya yang terkenal bahwa tragedi mengakibatkan purifikasi (katharsis) rasa takut dan iba yang berujung pada pengalaman kelahiran kembali. Tragedi-tragedi Yunani, yang pada awalnya merupakan bagian dari festival keagamaan, tidak mesti menghadirkan kisah faktual peristiwa-peristiwa sejarah tetapi berupaya mengilhami kebenaran yang lebih serius. Bahkan sejarah lebih remeh daripada puisi dan mitos: "Yang satu menguraikan apa yang telah terjadi, yang lainnya apa yang mungkin terjadi. Karena itu, puisi adalah sesuatu yang lebih serius dan filosofis daripada sejarah; karena puisi berbicara tentang apa yang universal, sedangkan sejarah apa yang partikular."36 Mungkin atau tidak mungkin ada seorang Achilles atau Oedipus historis, tetapi fakta-fakta kehidupan mereka tidak relevan dengan karakter yang kita saksikan dalam Homer dan Sophocles, yang mengekspresikan kebenaran yang berbeda tetapi lebih mendalam tentang kondisi manusia. Uraian Aristoteles tentang katharsis tragedi merupakan presentasi filosofis atas kebenaran yang telah dipahami Homo religiosus secara intuitif: presentasi simbolis, mitikal, dan ritual atas peristiwa-peristiwa yang tak tertanggungkan dalam kehidupan sehari-hari dapat menebus dan mentransformasikannya menjadi sesuatu yang murni dan bahkan menyenangkan.

Gagasan Aristoteles tentang Tuhan berpengaruh besar terhadap monoteis selanjutnya, khususnya terhadap orang Kristen di dunia Barat. Dalam Physics, dia menganalisis hakikat realitas dan struktur serta substansi semesta. Dia mengembangkan apa yang kemudian berkembang menjadi versi filosofis teori emanasi kuno tentang kisah penciptaan: Ada hierarki eksistensi, masing-masing memberi bentuk dan mengubah yang di bawahnya. Akan tetapi, tidak seperti mitos kuno, dalam teori Aristoteles, emanasi semakin melemah ketika semakin jauh dari sumbernya. Pada puncak hierarki ini terdapat Penggerak yang Tidak Digerakkan, yang oleh Aristoteles diidentifikasi sebagai Tuhan. Tuhan ini merupakan wujud murni dan, dengan demikian, abadi, tidak berubah, dan spiritual. Tuhan ini adalah akal murni, pada saat yang sama merupakan yang berpikir dan yang dipikirkan sekaligus, terlibat dalam waktu abadi untuk berkontemplasi tentang dirinya sendiri, objek pengetahuan tertinggi. Karena materi tidak abadi dan lemah, tidak ada unsur materi di dalam Tuhan atau tingkat wujud yang lebih tinggi. Penggerak yang Tidak Digerakkan mengakibatkan semua gerak dan aktivitas di alam semesta, karena setiap pergerakan pastilah mempunyai sebab yang dapat dilacak kembali kepada sumber yang tunggal. Dia mengaktifkan dunia melalui sebuah proses penarikan, karena semua wujud tertarik ke arah Wujud itu sendiri.

Manusia berada dalam posisi istimewa: jiwa kemanusiaannya mempunyai akal karunia ilahi, yang membuatnya serumpun dengan Tuhan dan ikut ambil bagian dalam hakikat keilahian. Kapasitas akal yang ilahiah ini meletakkannya dalam posisi yang lebih tinggi daripada tumbuhan dan hewan. Akan tetapi, sebagai tubuh dan jiwa, manusia adalah mikrokosmos keseluruhan alam semesta. Dalam dirinya termuat bahan paling dasar dari alam semesta sekaligus akal yang ilahiah. Kewajibannyalah untuk menjadi abadi dan ilahiah dengan cara menyucikan akalnya. Kebijaksanaan(sopbia) merupakan yang tertinggi dari semua kebajikan manusia; itu diekspresikan dalam kontemplasi (theoria) tentang kebenaran filosofis yang, seperti dalam konsepsi Plato, membuat kita suci dengan cara meniru aktivitas Tuhan sendiri. Theoria tidak diraih melalui logika semata, tetapi merupakan intuisi terlatih yang menghasilkan transendensi diri yang ekstatik.Akan tetapi, sedikit sekali orang yang mampu mencapai kebijaksanaan ini dan kebanyakan hanya dapat mencapai phronesis, melatih firasat dan kecerdasan dalam hidup sehari-hari.

Meski dalam sistemnya posisi Penggerak yang Tidak Digerakkan sangatlah penting, Tuhan Aristoteles tidak banyak terkait dengan agama. Tuhan ini tidak menciptakan dunia, karena tindakan itu akan mengakibatkan perubahan dan aktivitas temporal yang tidak sepantasnya. Meskipun segala sesuatu merindukannya, Tuhan ini tetap tidak peduli pada eksistensi alam semesta, karena dia tidak dapat berkontemplasi tentang sesuatu yang lebih rendah daripada dirinya. Dia jelas tidak mengarahkan atau membimbing dunia dan tidak dapat membawa perubahan dalam kehidupan kita, dengan cara apa pun. Adalah pertanyaan yang tak terjawab, apakah Tuhan mengetahui keberadaan kosmos ini, yang telah beremanasi darinya sebagai akibat niscaya dari keberadaannya. Pertanyaan tentang keberadaan Tuhan yang seperti itu secara keseluruhan bersifat periferal. Aristoteles sendiri mungkin telah meninggalkan teologinya cli akhir masa hidupnya. Sebagai manusia Zaman Kapak, dia dan Plato sama-sama menaruh perhatian terhadap kesadaran individual, kehidupan yang baik, dan masalah keadilan di masyarakat. Namun pemikiran mereka bersifat elitis. Dunia bentuk-bentuk murni Plato atau Tuhan Aristoteles yang jauh, hanya dapat menimbulkan sedikit pengaruh bagi kehidupan orang awam, sebuah fakta yang belakangan terpaksa diakui oleh pengagum keduanya dari kalangan Yahudi dan Muslim.

Oleh karena itu, dalam ideologi-ideologi baru Zaman Kapak, terdapat kesepakatan umum bahwa kehidupan manusia mengandung unsur transenden yang esensial. Para pemikir terkemuka yang telah kita bahas telah menerjemahkan transendensi ini secara berbeda-beda, tetapi mereka sepakat untuk melihatnya sebagai sesuatu yang krusial bagi perkembangan kaum pria dan wanita menjadi manusia yang utuh. Mereka tidak secara mutlak mencampakkan mitologi-mitologi kuno, tetapi melakukan penafsiran ulang atasnya dan membantu orang-orang untuk bangkit melampauinya. Pada saat yang sama dengan masa terbentuknya ideologi-ideologi ini, nabi-nabi Israel mengembangkan tradisi mereka sendiri untuk menghadapi kondisi yang berubah, hingga Yahweh akhirnya menjadi satu-satunya Tuhan mereka. Akan tetapi, bagaimana Yahweh yang pemarah bisa sesuai dengan visi-visi lain yang luhur ini?




Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © Mei 2017. misteri ilahi - Rendy Ananda Aceda
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Frida Satriani Aceda Blogger